Entri Populer

Selasa, 11 Oktober 2011

Salah PahamTentang Salafi

Oleh: Yulian Purnama Pepatah lama
mengatakan, “Tak kenal
maka tak sayang”.
Demikianlah, kadang
seorang membenci
sesuatu, padahal ia tidak mengenal apa yang
ia benci itu. Bisa jadi bila
ia mengenalnya, bukan
benci namun cinta yang
diberikan. Demikianlah
yang terjadi pada dakwah Salafiyah atau
disebut juga Salafi.
Banyak orang bergunjing
tentang Salafi, padahal
ia tidak mengenal
bagaimana sebenarnya Salafi atau dakwah salaf
itu. Hasilnya, timbullah
tuduhan dan anggapan-
anggapan buruk yang
keji. Bahkan sampai ada
yang menuduh bahwa Salafi adalah aliran
sesat! Sungguh Allah-lah
tempat memohon
pertolongan. Kenalilah Istilah Salafi Salaf secara bahasa
arab artinya ‘setiap
amalan shalih yang telah
lalu; segala sesuatu
yang terdahulu; setiap
orang yang telah mendahuluimu, yaitu
nenek moyang atau
kerabat’ (Lihat Qomus
Al Muhith, Fairuz Abadi).
Secara istilah, yang
dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam
yang merupakan
generasi terbaik, seperti
yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat
adalah generasiku,
kemudian sesudahnya,
kemudian
sesudahnya” (HR.
Bukhari-Muslim) Tiga generasi yang
dimaksud adalah
generasi Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa
sallam dan para sahabat,
generasi tabi’in dan generasi tabi’ut tabi’in.
Sering disebut juga
generasi Salafus Shalih.
Tidak ada yang
meragukan bahwa
merekalah orang-orang yang paling memahami
Islam yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam. Maka
bila kita ingin memahami
Islam dengan benar, tentunya kita merujuk
pada pemahaman orang-
orang yang ada pada 3
generasi tersebut.
Seorang sahabat yang
mulia, Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu
berkata, “Seseorang
yang mencari teladan,
hendaknya ia meneladani
para sahabat Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam karena mereka
adalah orang-orang
yang paling mulia
hatinya, paling mendalam
ilmunya, paling sedikit
takalluf-nya, paling benar bimbingannya,
paling baik keadaannya,
mereka adalah orang-
orang yang dipilih oleh
Allah untuk menjadi
sahabat Nabi-Nya, dan untuk menegakkan
agamanya. Kenalilah
keutamaan mereka.
Ikutilah jalan hidup
mereka karena sungguh
mereka berada pada jalan yang
lurus.” (Limaadza
Ikhtartu Al Manhaj As
Salafi Faqot, Salim bin
‘Ied Al Hilaly) Kemudian dalam kaidah
bahasa arab, ada yang
dinamakan dengan isim
nisbah, yaitu isim (kata
benda) yang
ditambahkan huruf ‘ya’ yang di-tasydid dan di-
kasroh, untuk
menunjukkan penisbatan
(penyandaran) terhadap
suku, negara asal, suatu
ajaran agama, hasil produksi atau sebuah
sifat (Lihat Mulakhos
Qowaid Al Lughoh Ar
Rabiyyah, Fuad Ni’mah).
Misalnya yang sering
kita dengar seperti ulama hadits terkemuka
Al-Bukhari, yang
merupakan nisbah
kepada kota Bukhara
(nama kota di
Uzbekistan) karena Al- Bukhari memang berasal
dari sana. Ada juga yang
menggunakan istilah Al-
Hanafi, berarti
menisbahkan diri pada
madzhab Hanafi. Maka dari sini dapat dipahami
bahwa Salafi maksudnya
adalah orang-orang
yang menisbahkan
(menyandarkan) diri
kepada generasi Salafus Shalih. Atau dengan kata
lain “Salafi adalah
mengikuti pemahaman
dan cara beragama para
sahabat Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang
yang mengikuti jalan
mereka”. (Kun Salafiyyan
‘Alal Jaddah, hal. 10) Sehingga dengan
penjelasan ini jelaslah
bahwa orang yang
beragama dengan
mengambil sumber ajaran
Islam dari 3 generasi awal umat Islam tadi,
DENGAN SENDIRINYA ia
seorang Salafi. Tanpa
harus mendaftar, tanpa
berbai’at, tanpa iuran
anggota, tanpa kartu anggota, tanpa harus
ikut pengajian tertentu,
dan tanpa harus
memakai busana khas
tertentu. Maka Anda
yang sedang membaca artikel ini pun seorang
Salafi bila anda selama
ini mencontoh Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa
sallam dan para
sahabatnya dalam beragama. Jika pembaca sekalian
memahami penjelasan di
atas, maka seharusnya
telah jelas bahwa
dakwah salafiyyah
adalah Islam itu sendiri. Dakwah Salafiyyah
adalah Islam yang hakiki.
Mengapa? Karena dari
manakah kita mengambil
sumber pemahaman Al
Qur’an dan hadits selain dari para sahabat
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam?
Apakah ada sumber lain
yang lebih terpercaya?
Apakah Islam dipahami dengan selera dan
pemahaman masing-
masing orang? Bahkan
jika seseorang dalam
memahami Al Qur’an dan
hadits mengambil sumber dari yang lain, maka
dapat dipastikan ia telah
mengambil jalan yang
salah. Syaikh Salim Bin
‘Ied Al Hilaly setelah
menjelaskan surat An Nisa ayat 115 berkata,
“Dengan ayat ini jelaslah
bahwa mengikuti jalan
kaum mu’minin adalah
jalan keselamatan. Dan
ayat ini dalil bahwa pemahaman para
sahabat mengenai
agama Islam adalah
hujjah terhadap
pemahaman yang lain.
Orang yang mengambil pemahaman selain
pemahaman para
sahabat, berarti ia telah
mengalami
penyimpangan, menapaki
jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan
cukup baginya neraka
Jahannam yang
merupakan seburuk-
buruk tempat
tinggal.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As
Salafi Faqot, Salim bin
‘Ied Al Hilaly) Salah Kaprah Tentang
Salafi Di tengah masyarakat,
banyak sekali beredar
syubhat (kerancuan) dan
kalimat-kalimat miring
tentang Salafi. Dan ini
tidak lepas dari dua kemungkinan.
Sebagaimana dijelaskan
Syaikh ‘Ubaid bin
Sulaiman Al Jabiri ketika
ditanya tentang sebuah
syubhat, “Kerancuan tentang Salafi yang
berkembang di
masyarakat ini tidak
lepas dari 2
kemungkinan: Disebabkan
ketidak-pahaman atau disebabkan adanya
i’tikad yang buruk. Jika
karena tidak paham,
maka perkaranya mudah.
Karena seseorang yang
tidak paham namun i’tikad baik, jika
dijelaskan padanya
kebenaran ia akan
menerima, jika telah
jelas baginya kebenaran
dengan dalilnya, ia akan menerima. Adapun
kemungkinan yang
kedua, pada hakikatnya
ini disebabkan oleh
fanatik golongan dan
taklid buta, -dan ini yang lebih banyak
terjadi- dari orang-
orang ahlul ahwa
(pengikut hawa nafsu)
dan pelaku bid’ah yang
mereka memandang bahwa manhaj salaf
akan membuka tabir
penyimpangan
mereka.” (Ushul Wa
Qowa’id Fii Manhajis
Salafi, Syaikh ‘Ubaid bin Sulaiman Al Jabiri ) Dalam kesempatan kali
ini akan kita bahas
beberapa kerancuan
tersebut. 1. Salafi Bukanlah
Sekte, Aliran, Partai
atau Organisasi
Massa Sebagian orang mengira
Salafi adalah sebuah
sekte, aliran
sebagaimana Jama’ah
Tabligh, Ahmadiyah,
Naqsabandiyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi
massa sebagaimana NU,
Muhammadiyah, PERSIS,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut
Tahrir, dll. Ini adalah
salah kaprah. Salafi bukanlah sekte, aliran,
partai atau organisasi
massa, namun salafi
adalah manhaj (metode
beragama), sehingga
semua orang di seluruh pelosok dunia di
manapun dan kapanpun
adalah seorang salafi
jika ia beragama Islam
dengan manhaj salaf
tanpa dibatasi keanggotaan. Sebagian orang juga
mengira dakwah
Salafiyyah adalah
gerakan yang dicetuskan
dan didirikan oleh Syaikh
Muhammad Bin Abdul Wahab. Ini pun kesalahan
besar! Dijelaskan oleh
Syaikh ‘Ubaid yang
ringkasnya, “Dakwah
salafiyyah tidak didirikan
oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh
Muhammad Bin Abdul
Wahab bersama
saudaranya Imam
Muhammad Bin Su’ud,
tidak juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
murid-muridnya, bukan
pula oleh Imam Mazhab
yang empat, bukan pula
oleh salah seorang
Tabi’in, bukan pula oleh sahabat, bukan pula oleh
Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam, dan bukan
didirikan oleh seorang
Nabi pun. Melainkan
dakwah Salafiyah ini didirikan oleh Allah
Ta’ala. Karena para Nabi
dan orang sesudah
mereka menyampaikan
syariat yang berasal dari
Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang
dapat dijadikan rujukan
melainkan nash dan
ijma” (Ushul Wa Qowaid
Fii Manhajis Salaf) Oleh karena itu, dalam
dakwah salafiyyah tidak
ada ketua umum Salafi,
Salafi Cabang Jogja,
Salafi Daerah, Tata
tertib Salafi, AD ART Salafi, Alur Kaderisasi
Salafi, dan tidak ada
muassis (tokoh pendiri)
Salafi. Tidak ada pendiri
Salafi melainkan Allah
dan Rasul-Nya, tidak ada AD-ART Salafi melainkan
Qur’an dan Sunnah
dengan pemahaman para
sahabat. 2. Salafi Gemar
Mengkafirkan dan
Membid’ahkan? Musuh utama seorang
muslim adalah kekufuran
dan kesyirikan, karena
tujuan Allah menciptakan
makhluk-Nya agar
makhluk-Nya hanya menyembah Allah
semata. Allah Ta’ala
berfirman, “Sungguh
kesyirikan adalah
kezaliman yang paling
besar” [QS. Luqman: 13]. Setelah itu, musuh
kedua terbesar seorang
muslim adalah perkara
baru dalam agama,
disebut juga bid’ah.
Karena jika orang dibiarkan membuat
perkara baru dalam
beragama, akan
hancurlah Islam karena
adanya peraturan,
ketentuan, ritual baru yang dibuat oleh orang-
orang belakangan.
Padahal Islam telah
sempurna tidak butuh
penambahan dan
pengurangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap
bid’ah adalah
kesesatan” (HR. Muslim) Maka tentu tidak bisa
disalahkan ketika ada
da’i yang secara intens
mendakwahkan tentang
bahaya syirik dan
bid’ah, mengenalkan bentuk-bentuk
kesyirikan dan
kebid’ahan agar umat
terhindar darinya.
Bahkan inilah bentuk
sayang dan perhatian terhadap umat. Kemudian, para ulama
melarang umat Islam
untuk sembarang
memvonis bid’ah, sesat
apalagi kafir kepada
individu tertentu. Karena vonis yang demikian
bukanlah perkara remeh.
Diperlukan timbangan Al
Qur’an dan As Sunnah
serta memperhatikan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh
para ulama dalam hal ini.
Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani
berkata, “Dalil-dalil
terkadang menunjukkan bahwa perbuatan
tertentu adalah
perbuatan kufur, atau
perkataan tertentu
adalah perkataan kufur.
Namun di sana terdapat faktor yang membuat
kita tidak memberikan
vonis kafir kepada
individu tertentu (yang
melakukannya).
Faktornya banyak, misalnya karena ia tidak
tahu, atau karena ia
dikalahkan oleh orang
kafir dalam
perang.” (Fitnah At
Takfir, Muhammad Nashiruddin Al Albani) Dari sini jelaslah bahwa
menjelaskan perbuatan
tertentu adalah
perbuatan kufur bukan
berarti memvonis semua
pelakunya itu per individu pasti kafir.
Begitu juga menjelaskan
kepada masyarakat
bahwa perbuatan
tertentu adalah
perbuatan bid’ah bukan berarti memvonis
pelakunya pasti ahlul
bid’ah. Syaikh Abdul
Latif Alu Syaikh
menjelaskan: “Ancaman
(dalam dalil-dalil) yang diberikan terhadap
perbuatan dosa besar
terkadang tidak bisa
menyebabkan pelakunya
per individu terkena
ancaman tersebut” (Ushul Wa
Dhawabith Fi At Takfir,
Syaikh Abdul Latif bin
Abdurrahman Alu Syaikh) 3. Salafi Memecah-
Belah Ummat? Untuk menjelaskan
permasalahan ini, perlu
pembaca ketahui
tentang 3 hal pokok.
Pertama, perpecahan
umat adalah sesuatu yang tercela.
Sebagaimana firman Allah
Ta’ala yang artinya,
“Berpegang teguhlah
pada tali Allah dan
jangan berpecah- belah” (QS. Al-Imran:
103). Kedua, perpecahan
umat adalah suatu hal
yang memang dipastikan
terjadi dan bahkan
sudah terjadi. Sebagaimana dikabarkan
oleh Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam,
“Umatku akan berpecah
menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya akan masuk neraka
kecuali satu. Maka kami-
pun bertanya, siapakah
yang satu itu ya
Rasulullah? Beliau
menjawab: yaitu orang- orang yang berada pada
jalanku dan jalannya
para sahabatku di hari
ini” [HR. Tirmidzi]. Ketiga,
persatuan Islam
bukanlah semata-mata persatuan badan, kumpul
bersama, dengan
keadaan aqidah yang
berbeda-beda.
Mentoleransi segala
bentuk penyimpangan, yang penting masih
mengaku Islam. Bukan itu
persatuan Islam yang
diharapkan. Perhatikan
baik-baik hadits tadi,
saat umat Islam berpecah belah seolah-
olah Rasulullah
memerintahkan untuk
bersatu pada satu jalan,
yaitu jalan yang
ditempuh oleh para sahabat, inilah manhaj
salaf. Sehingga ketika ada
seorang yang
menjelaskan kesalahan-
kesalahan dalam
beragama yang dianut
sebagian kelompok, aliran, partai atau ormas
Islam, bukanlah upaya
untuk memecah belah
ummat. Melainkan
sebuah upaya untuk
mengajak ummat BERSATU di satu jalan
yang disebutkan oleh
Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam
tersebut. Bahkan adanya
bermacam aliran, sekte, partai dan ormas Islam
itulah yang
menyebabkan
perpecahan ummat.
Karena mereka tentu
akan loyal kepada tokoh-tokoh mereka
masing-masing, loyal
kepada peraturan
mereka masing-masing,
loyal kepada tradisi
mereka masing-masing, bukan loyal kepada
Islam!! Selain itu, jika ada
saudara kita yang
terjerumus dalam
kesalahan, siapa lagi
yang hendak mengoreksi
kalau bukan kita sesama muslim? Tidak akan kita
temukan orang kuffar
yang melakukannya. Dan
bukankah Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda: “Agama adalah nasehat” (HR.
Muslim). Dan jika koreksi
itu benar, bukankah
wajib menerimanya dan
menghempas jauh
kesombongan? Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
“Kesombongan itu
adalah menolak
kebenaran dan
meremehkan manusia” (HR. Muslim) 4. Salafi Aliran
Sesat? Orang yang menuduh
dakwah salafiyyah
sebagai aliran sesat,
seperti dijelaskan oleh
Syaikh Ubaid, bisa jadi ia
memang orang awam yang belum mengenal
apa itu salafi, atau bisa
jadi ia orang benci
kepada dakwah
salafiyyah karena
dakwah ini telah membuka tabir yang
selama ini menutupi
penyimpangan-
penyimpangan yang
dimilikinya. Anggapan ini sama sekali
tidak benar karena dua
hal. Pertama, dakwah
salafiyyah bukan aliran
atau sekte tertentu
dalam Islam, sebagaimana telah
dijelaskan. Kedua,
sebagaimana telah
diketahui bahwa sesuatu
dikatakan tersesat jika
ia telah tersasar dari jalan yang benar, dan
menempuh jalan yang
salah. Maka bagi yang
menuduh hendaknya
mendatangkan bukti
bahwa dakwah salafiyyah menyimpang
dari ajaran Al Qur’an
dan As Sunnah yang
benar. Niscaya mereka
tidak akan bisa
mendatangkan buktinya. Sebagaimana yang
dijelaskan Majelis Ulama
Indonesia Jakarta Utara
dalam menanggapi
kalimat-kalimat miring
yang menuduh bahwa salafi adalah aliran
sesat, dalam surat
edaran MUI Jakarta
Utara tanggal 8 April
2009 berjudul
“Pandangan MUI Kota Administrasi Jakarta
Utara tentang Salaf/
Salafi”. Dalam surat
edaran tersebut
ditetapkan: a) Pertama, penjelasan
tentang Salaf/Salafi: 1. Salaf/Salafi tidak
termasuk ke dalam
10 kriteria sesat
yang telah
ditetapkan oleh MUI.
Sehingga Salaf/Salafi bukanlah merupakan
sekte atau aliran
sesat sebagaimana
yang berkembang
belakangan ini, 2. Salaf/Salafi adalah
nama yang diambil
dari kata salaf yang
secara bahasa berarti
orang-orang
terdahulu, dalam istilah adalah orang-
orang terdahulu yang
mendahului kaum
muslimin dalam Iman,
Islam dst. mereka
adalah para sahabat dan orang-orang
yang mengikuti
mereka, 3. Penamaan salafi ini
bukanlah penamaan
yang baru saja
muncul, namun sejak
dahulu ada, 4. Dakwah salaf adalah
ajakan untuk
memurnikan agama
Islam dengan kembali
kepada Al Qur’an dan
As Sunnah dengan menggunakan
pemahaman para
sahabat
Radhiallahu’anhum. b) Kedua, nasehat dan
tausiah kepada
masyarakat: 1. Hendaknya
masyarakat tidak
mudah melontarkan
kata sesat kepada
suatu dakwah tanpa
di klarifikasi terlebih dahulu, 2. Hendaknya
masyarakat tidak
terprovokasi dengan
pernyataan-
pernyataan yang
tidak bertanggung jawab, 3. Kepada para da’i,
ustadz, tokoh agama
serta tokoh
masyarakat
hendaknya dapat
menenangkan serta memberikan
penjelasan yang
objektif tentang
masalah ini kepada
masyarakat, 4. Hendaknya
masyarakat tidak
bertindak anarkis dan
main hakim sendiri,
sebagaimana terjadi
di beberapa daerah. (Surat edaran MUI,
“Pandangan MUI Kota
Administrasi Jakarta
Utara tentang Salaf/
Salafi”, 8 April 2009, file
ada pada redaksi) Nasihat Untuk Ummat Terakhir, agama adalah
nasehat. Maka penulis
menasehati diri sendiri
dan kaum muslimin
sekalian untuk menjadi
Salafi. Bagaimana caranya? Menjadi
seorang Salafi adalah
dengan menjalankan
Islam sesuai dengan apa
yang telah dituntunkan
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan
dipahami oleh generasi
Salafus Shalih. Dan wajib
hukumnya bagi setiap
muslim untuk ber-Islam
dengan manhaj salaf. Ibnul Qayyim Al
Jauziyyah berkata:
“Para sahabat Nabi
shallallahu ’alaihi wa
sallam semua diampuni
oleh Allah. Wajib mengikuti metode
beragama para sahabat,
perkataan mereka dan
aqidah mereka sebenar-
benarnya” (I’lamul
muwaqqi’in, (120/4), dinukil dari Kun
Salafiyyan ‘Alal Jaddah,
Abdussalam Bin Salim As
Suhaimi) Semoga Allah Ta’ala
senantiasa menunjukkan
kita kepada jalan yang
lurus, yaitu jalan yang
ditempuh oleh orang-
orang yang diberikan ni’mat, bukan jalannya
orang-orang yang
dimurkai dan orang-
orang tersesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar