Entri Populer

Rabu, 12 Oktober 2011

PERISAI PENANGKIS DIDALAM MEMBELA AL-IMAM AL-ALBANI DARIKEJAHATAN ”AL-MUDZABDZAB” AT-TAHRIRI (2)

PERISAI PENANGKIS DI
DALAM MEMBELA AL-
IMAM AL-ALBANI DARI
KEJAHATAN ”AL-
MUDZABDZAB” AT-
TAHRIRI (2) Maret 12, 2007 @
12:53 pm › abu salma ↓ Skip to comments Berbagi
lebih
bermanfaat: Like
this: Be the
first to like this post. ﻊﻴﻨﻤﻟﺍ ﻦﺼﺤﻟﺍ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﻦﻋ ﻉﺎﻓﺪﻠﻟ ﻦﻣ ﻲﻧﺎﺒﻟﻷﺍ ﺏﺬﺑﺬﻤﻟﺍ ﺔﺒﻏﺎﺸﻣ ﻱﺮﻳﺮﺤﺘﻟﺍ PERISAI PENANGKIS DI DALAM MEMBELA AL- IMAM AL-ALBANI DARI KEJAHATAN ”AL- MUDZABDZAB” AT- TAHRIRI [Bagian 2] BENARKAH MEREKA PARA ULAMA PEMBELA ISLAM?! Saya lanjutkan menukil penyebutan al- Mudzabdzab terhadap kitab-kitab dan ulama yang berlawanan dengan Syaikh al-Albani, dia menyebutkan diantara ulama yang membantah Syaikh al-Albani rahimahullahu : 1. Ulama Ahli Hadits India,
Habiburrahman
al-Azhami yang menulis kitab Al- Albani
Syudzudzuhu wa Akhtha’uhu
(Keganjilan dan kekeliruan Albani) dalam 4 jilid. 2. Ulama Siria yaitu DR. Muhammad Said Ramadhani al-Buthi yang mengarang al- Laamadzhabiyyah
Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu asy- Syari’atal
Islamiyyah (Tidak bermadzhab
bid’ah
terbahaya yang menentang
Syariat Islam) dan
kitab As- Salafiyyatu
Marhalatun
Zamaniyyatun
Mubarakatun La Madzhabun
Islamiyyi
(Salafiyah adalah tahapan zaman yang penuh berkah bukan madzhab Islami) 3. Ulama Ahli Hadits Maroko yaitu Abdullah bin Shiddiq al- Ghumari yang menulis Irghamul Mubtadi’ al- Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi ’ala al-Albani al- Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu Tentang Bolehnya
Bertawasul
Dengan Nabi Sebagai Bantahan
Terhadap Albani Yang Jahat), al- Qoulul Muqni’ fir Raddi ’ala al- Albani al- Mubtadi’(Perkataan
Yang Terang Di Dalam Membantah
Albani Si Pelaku Bid’ah) dan Itqaan as-Sun’ah
fi Tahqiqi Ma’nal Bid’ah (Aktivitas Yang Mulia di dalam Penelitian Makna Bid’ah) 4. Abdul Aziz bin Muhammad bin Shiddiq al- Ghumari yang menulis Bayaanu Naqdul Naaqish al-Mu’tadi
(Penjelasan
Tentang Kritikan Terhadap
Penentang Yang Lemah). 5. Ulama Siria yaitu Abdul Fattah Abu Ghuddah yang menulis ar-Radd ’alal Abaathil wa iftiraa`at Nashir Albani wa Shahibihi Zuhair asy-Syawisy wa Mu’azirihima
(Bantahan
Terhadap
Kebatilan dan Kedustaan Nashir Albani dan Sahabat Lamanya Zuhair Syawisy dan Para Pengikut
Keduanya). 6. Ulama Mesir yaitu Muhammad
Awwama yang menulis Adabul Ikhtilaaf (Etika Bertikai). 7. Ulama Mesir yaitu Mamduh Sa’id Mamduh yang menulis Wushul at-Tahani bi Itsbaati Sunniyat as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih Cahaya Manfaat dan Ketetapan
Sunnahnya Tasbih
dan Bantahan Terhadap Albani) dan Tanbiihul Muslim ila Ta’addil Albani ’ala Shahih Muslim
(Peringatan
Terhadap Muslim Tentang
Kelancangan
Albani Terhadap Shahih Muslim). 8. Ahli Hadits Saudi yaitu Ismail Muhammad al- Anshari yang menulis
Ta’aqqubaat
’ala Silsilatil Ahaadits adl- Dlaaifah wal Maudlu’ lil Albani (Kerancuan
Silsilah Hadits- Hadits Lemah dan Palsu Karya Albani), Tashhih Sholaatit
Taraawih Isyriina Rak’atan war Raddu ’alal Albani fi Tadl’ifihi (Pensahihahan
Sholat Tarawih 20 Raka’at dan Bantahan
Terhadap Albani Atas
Pendhaifannya)
dan Ibaahatut Tahalli bidz Dzahab al- Muhallaq lin Nisaa’ war Raddu ’alal Albani fi Tahriimihi (Bolehnya
Memakai Emas Melingkar Bagi Wanita dan Bantahan
Terhadap Albani Atas
Pengharamannya). 9. Ulama Siria yaitu Badruddin Hasan Diab yang menulis Anwaarul
Mashaabih ’ala Zhulumaatil Albani fi Shalatit Tarawih (Pelita Penerang
Terhadap
Kegelapan Albani Di Dalam Masalah Shalat Tarawih). 0. Direktur Urusan Keagamaan di Dubai, yaitu Isa bin Abdullah bin Mani’ al-Himyari yang menulis al- I’lam bil Istihbaabi
Syaddur Rihaal li Ziyaarati Qobri Khayral Anaam Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (Penjelasan
Tentang Bolehnya
Bepergian Jauh Dalam Rangka Berziarah ke Kubur Manusia Terbaik
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan al-Bi’datul
Hasanah Ashlun Min Ushulutit Tasyri’ (Bid’ah Hasanah adalah Pokok dari Pokok-Pokok
Dasar
Pensyariatan). 1. Menteri Urusan Islam dan Keagamaan di Uni Emirat Arab yaitu Muhammad bin Ahmad al-Khazraji yang menulis sebuah artikel berjudul al- Albani : Tatharuffatuhu
(Al-Albani : keekstrimannya) 2. Ulama Siria yaitu Firad Muhammad Walid Ways dalam kitabnya Ibnul Mulaqqin yang berjudul
Sunniyatul
Jum’ah al- Qobliyah
(Sunnahnya
Sholat Qabliyah Jum’at). 3. Ulama Siria yaitu Samir al-Istanbuli yang menulis al- Ahad, al-Ijma’ wan Naskhu 4. Ulama Yordania yaitu Hasan Ali as-Saqqof yang menulis 2 jilid buku berjudul Tanaqudlaat al- Albani al-Wadlihah fima waqo’a fi tashiihil Ahaadits wa tadl’ifiha minal Akhtho’ wal Gholath (Kontradiksi
Nyata Albani Di Dalam Kekeliruan dan Kesalahan Pensahihan dan Pendhaifan
Hadits-Hadits),
Ihtijaajul Kha’ib bi Ibaarati Man- idda’al Ijma’ fahuwa Kaadzib (Pendalilan Yang Lemah Terhadap Ungkapan
Barangsiapa Yang Mengaku Adanya Ijma’ Maka Dia Telah Berdusta), al-Qoulu ats- Tsabt fi Shiyaami Yawmis Sabti (Ucapan Yang Mantap Tentang Berpuasa Pada Hari Sabtu), al- Lajif adh-Dhu’af al-Mutala’ib bi Ahkamil I’tikaaf (Pukulan Yang Mematikan Bagi Orang-Orang
Yang Bermain- Main Dengan Hukum I’tikaf), Shahih Shifatus Sholatin Nabi, I’lamul Kha’id bi Tahrimil Qur’an ’alal Junub wal Ha’idl
(Penjelasan Yang Terang Tentang Haramnya al- Qur’an Bagi Orang Yang Junub dan Haidh), Shahih Syarh Aqidah ath- Thohawiyah. Setelah mencomot nukilan-
nukilan di atas, si Mudzabdzab ini berkomentar : Alhamdulilah,
telah
bangkit
para
ulama
pembela Islam
untuk
meluruskan
penyimpangan-
penyimpangan
yang disebarkan
oleh
’orang
yang
tidak
bertanggung jawab’,
sehingga
ummat ini tetap
dalam
jalan
yang
sesuai
dengan al-Haq
yaitu al- Kitab dan as-
Sunnah Saya Jawab : Wahai Mudzabdzab…
perhatikanlah sebentar lagi hakikat orang-orang yang kau sebut sebagai ”para ulama pembela islam”. Wahai mudzabdzab!!! Sungguh akan kembali ucapanmu di atas kepadamu sendiri dan
kelompokmu yang kau puja dan kau puji, dan sesungguhnya
perkataanmu ’orang yang tidak bertanggung jawab’ yang engkau beri tanda petik di atasnya itu hakikatnya adalah mereka yang kau nukil ucapannya. Orang-orang yang kau katakan sebagai pembela Islam akan tampak hakikatnya sebentar lagi –insya Allah-. Dan jalan yang kau katakan dengan al-Haq adalah jalan yang kau klaim dengan kebodohanmu belaka tanpa ada buktinya…!!! Pembaca budiman, sesungguhnya Mudzabdzab
ini hanya menukil dan mencomot begitu saja dari website pembenci dakwah salafiyah dan ulamanya. Saya katakan demikian, karena tulisan yang ia nukil dalam format transliterasi Arab ke Inggris dan dalam terjemahan dari versi Inggris, dan itupun dia banyak sekali melakukan kengawuran di dalam menterjemahnya. Berikut ini, akan kita kupas tuduhan-tuduhan si mudzadzab yang jahil ini - dan pembaca insya Allah akan menemukan kejahilannya yang amat sangat sebentar lagi, yang
hal ini menunjukkan kejahilan syabab Hizbut Tahrir terhadap dien ini, kepandaian orang ini hanyalah bermain kata- kata dan pengkhianatan ilmiah.- Berikut ini hakikat orang- orang yang dia katakan sebagai ulama pembela Islam dan dia gelari dengan Imam dan ulama hadits[1] : Habiburrahman al- A’zhami al-Hindi (Arsyad as-Salafi) Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad berkata di dalam kitab beliau yang bermutu yang berjudul Zawabi’ fi Wajhi Sunnah Qadiman wa Haditsan (terj. Bahaya Mengingkari Sunnah, pent. Pustaka Azzam) di dalam bab “Kesewenang- wenangan Orang-Orang Yang Bertaklid Atas Hadits-Hadits Nabi” yang menjelaskan tentang bahaya orang-orang yang fanatik madzhab terhadap hadits nabi, yang kebanyakan mereka jika menemui hadits yang sesuai dengan madzhab imam yang mereka ikuti maka mereka gembira bercampur bangga. Namun jika hadits tersebut bertentangan dengan madzhab imam mereka dan
sesuai dengan madzhab lainnya, maka mereka marah. Syaikh Sholahudin di dalam hasyiah (catatan kaki)nya mengomentari dan menjelaskan perkataan tersebut sebagai berikut : ”Sikap ini terlihat pada diri tokoh-tokoh di kalangan mereka apalagi di kalangan umum (awam). Contoh yang paling dekat adalah sikap Syaikh Habiburrahman al-A’zhami al-Hanafi al-Hindi. Ia tumbuh dalam pengabdian kepada sunnah nabi sampai usia 60 tahun lebih. Ia juga mentakhrij buku- buku hadits lebih dari 40 jilid. Akan tetapi sikap fanatiknya tidak berubah, sehingga usahanya itu tidak berguna, kecuali ia hanya menegakkan hujjah atas dirinya sendiri. Kami memohon keselamatan kepada Allah!” Berikut ini akan kami sampaikan satu contoh dari masalah tersebut : Seseorang yang menelaah tahqiiqot (penelitian- penelitian) Syaikh al- A’zhami, dapat melihat dengan jelas bahwa di banyak kesempatan al- A’zhami tidak lebih mengatakan, ”Demikianlah yang terdapat di dalam manuskrip”. ”Demikianlah yang terdapat di dalam al-
Majma”. Akan tetapi, ketika disebutkan kepadanya riwayat Barra’ bin ’Azib mengenai tidak mengangkat kedua tangan
di dalam sholat kecuali satu kali dalam Mushanaaf Abdirrazaq (III/71), ia memberikan komentar tidak seperti biasanya hingga mencapai 11 baris kalimat sebagai berikut : ”Semoga Allah merahmati. Di antara mereka adalah Imam Turmudzi. Fanatismenya terhadap gurunya, Imam Bukhari, tidak membawanya kepada penyimpangan dari kebenaran. Sungguh ia menyatakan hasan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, kemudian ia mengumumkan bahwa ia berpedoman pada hadits tersebut. Hadits ini juga menjadi pedoman banyak ulama…” Padahal sebelum riwayat itu sudah ada sekitar 10 riwayat tentang mengangkat kedua tangan
di dalam sholat. Tetapi al- A’zhami tidak lapang dada
terhadap riwayat-riwayat tersebut, seperti ketika ia bersikap lapang dada terhadap riwayat ini dengan memberikan komentar. Ia mengisyaratkan
penyimpangan Bukhari dari
kebenaran. Di samping itu, ketika disebutkan riwayat al- Humaidi dengan jalur riwayat Salim bin Abdullah, dari bapaknya, ia berkata, ”Aku melihat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila beliau memulai sholat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Apabila beliau ingin ruku’ dan setelah bangun dari ruku’, maka beliau tidak mengangkat kedua tangannya dan tidak juga ketika bangkit di antara dua sujud.” (Musnad al- Humaidi II/227). Al-A’zhami mengomentari riwayat ini sebagai berikut : ”Dalam riwayat al-Humaidi, Nabi tidak mengangkat kedua tangannya ketika hendak ruku dan bangkit dari ruku, dan tidak pula ketika bangkit dari duduk antara dua sujud semuanya. Semua ahli hadits tidak ada yang menentang riwayat Humaidi ini!” Bagaimana ahli hadits menentang sedangkan riwayatnya telah dirubah dalam naskah yang menjadi pegangan al- A’zhami dalam komentarnya terhadap riwayat tersebut. Adapun dalam naskah azh- Zhahiriyah –yang ia sendiri mengakui telah membandingkannya-
berbeda dengan musnad yang telah dicetak, yaitu dengan lafazh ”Apabila beliau memulai sholat beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, apabila beliau ingin ruku’ dan setelah bangun dari ruku’, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika bangkit di antara dua sujud.” Begitulah perilaku orang fanatik. Herannya, bagaimana mereka bisa bersikap lapang dada terhadap riwayat yang diputarbalikkan tapi mendukung pendapatnya ini, sebaliknya mereka tidak suka riwayat yang bertentangan dengan pendapatnya. Kita berlindung kepada Allah dari perubahan ini dan dari sikap ridha terhadap perubahan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. [2] Jika para pembaca mau, silakan membaca secara lengkap sejarah perubahan hadits baik yang terjadi pada Mustadrak al-Hakim, Sunan Abu Dawud, Mushonnaf Ibnu Abi Saibah dan selainnya di dalam kitab Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad ini (Bahaya Pengingkaran Sunnah) hal. 253-272. Di dalam bab ini, para pembaca akan diajak ber’tamasya’ oleh Syaikh Sholahudin di dalam melihat pengkhinatan para fanatikus madzhabi di dalam merubah sunnah nabawiyah agar sesuai dengan madzhabnya. Nas’alullaha salaamah wal ’aafiyah. Perlu para pembaca budiman ketahui, bahwa Habiburrahman al-A’zhami al-Hanafi ini di kalangan muhadditisin India dikenal sebagai orang fanatik terhadap madzhab Hanafiyah dan mudallis (gemar menyembunyikan kebenaran). Muhadditsin India dari Jum’iyyah Ahlil Hadits semacam Syaikh Ubaidillah ar-Rehmani, Syaikh Abdul Hamid ar- Rehmani, Syaikh Shafiyurrahman al- Mubarakfuri (baca : al- Mabarkapuri), Syaikh Abul Qasim al-Benaresi, Syaikh Muhammad Isma’il as- Salafi, Syaikh Abul Kalam Azad, Syaikh Muhammad Sulaiman al-Mansurpuri, Syaikh Badi’udin Syah ar- Rasyidi, Syaikh Muhammad Mustofa al-A’zhami dan lain-lain tidak mentazkiyah Habiburrahman bahkan sebagian mereka membantah syudzudz (keganjilan)-nya karena lebih mendahulukan madzhab daripada hadits Nabi yang mulia. Bahkan Syaikh Albani mengomentari
Habiburrahman sebagai berikut : ”…Salah seorang musuh Sunnah dan musuh penyeru Tauhid, Syaikh Habiburrahman al-A’zhami yang bersembunyi di balik nama samarannya Arsyad as-Salafi, karena dia tidak punya keberanian dan takut berpolemik secara ilmiah dan beradab. Ini dia lakukan di dalam karyanya yang berjudul Al-Albani Syudzudzuhu wa Akhtha’uhu.” [3] Syaikhuna al-Fadhil, Salim bin Ied al-Hilali dan Ali Hasan al-Halabi hafizhahumallahu telah membantah
Habiburrahman al-A’zhami ini di dalam dua jilid karya mereka yang berjudul ar- Raddul ’Ilmiy ’ala Habibirrahman al-A’zhami –dan Insya Allah akan dicetak jilid ketiganya-. Demikianlah keadaan Habiburrahman al-A’zhami yang menulis Al-Albani Syudzdzuhu wa Akhtha’uhu, yang dicomot
oleh Mudzabdzab al-Hizbi. Kemudian muncul di benak saya, apakah gerangan yang melandasi si Mudzabdzab ini menghimpun bantahan Habiburrahman ini?? Kenapa dia tidak menukilnya dengan mencukupkan dari tokoh atau ulama Hizbut Tahrir saja?! Ternyata, jawabannya sangat jelas ketika kita telah melihat simpul benang merah yang tinggal ditarik saja, yaitu : 1. Hizbut Tahrir tidak memiliki satupun ulama hadits. Dan ini adalah realita! karena Hizbut Tahrir tidak memiliki tahqiqot, ta’liqot maupun takhrijat
terhadap kitab ulama hadits. Bahkan menurut mereka, kodifikasi
ilmu hadits saat ini bukanlah cara untuk menuju kebangkitan Islam sebagaimana
dikatakan oleh an-Nabhani
rahimahullahu di dalam kitabnya yang berjudul Nizhamul Islam. Adapun klaim Mudzabdzab yang menyebut
sebagian tokoh hizb semisal Fathi Salim, Samih ’Athifuzzain dan selainnya sebagai muhaddits
hanyalah isapan jempol belaka. Akan datang keterangannya
pada
pembahasannya
insya Allah Ta’ala. 2. An-Nabhani dan mayoritas tokoh Hizb adalah Asy’ariyah
Maturidiyah,
maka tidaklah heran jika mereka getol mengambil
pendapat al- Kautsari, al- Hamid, Abu Ghuddah, al- A’zhami dan semisal mereka[4]. Bahkan, Yusuf an-Nabhani ash- Shufi, kakek Taqiyudin an- Nabhani al-Hanafi termasuk
pembesar
hanafiyah
berakidah
shufiyah
quburiyah. Yusuf an-Nabhani ini memiliki karangan yang berjudul Syawahidul Haqq yang dikomentari oleh Ustadz Tengku Hasbi ash-Shiddiqui
sebagai kitab sufiyah yang penuh dengan cercaan terhadap
ulama Ahlus Sunnah terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al- Muhaddits Iraq, al-Allamah
Mahmud Syukri al-Alusi telah membantah Yusuf an-Nabhani ini. Dua simpul telah kita tarik di sini, dan inilah mengapa mereka berserikat
dengan as- Saqqof murid al- Kautsari yang kedua-duanya
pembenci Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Usut punya usut, ternyata
pendahulu
Fanatikus
Hanafiyin yang bernama
Ala`uddin
Muhammad bin Muhammad al- Bukhari al-Hanafi (w. 841 H) menuduh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan kekafiran. Oleh karena itu, al- Allamah
Muhammad bin Nashirudin ad- Dimasyqi asy- Syafi’i
membantah
tuduhan Ala`uddin tersebut di dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul ar- Raddul Wafir ’ala Man Za’ama Anna Man Summiya Ibn Taimiyah Syaikhal Islam Kaafir (buku ini diterbitkan dengan tahqiq Syaikh Zuhair asy-Syawisy
diterbitkan oleh al-Maktab al- Islamiy, Beirut). Bahkan syaikh Badruddin
al-’Aini al-Hanafi memuji kitab ini, karena beliau bukanlah
termasuk
fanatikus
madzhab Hanafi dan beliau lebih mencintai sunnah nabi dan al-Haq daripada taqlid dan ashobiyah. 3. si Mudzabdzab yang syabab Hizbut Tahrir ini dan kaum shufiyah,
jahmiyah,
asy’ariyah dan firqoh sesat lainnya
berserikat di dalam membenci ahlus sunnah, ahlul hadits dan ahlul atsar. Hal ini tampak sebentar lagi dengan dasar referensi al- Mudzdzab al-Hizbi ini yang mencomot dari kitab-kitab sesat yang
mengajarkan
kesyirikan dan kebid’ahan
untuk
mengantam
dakwah tauhid yang dijuluki dakwah
Wahabiyah. Allahul Musta’an. DR. Said Ramadhan al- Buthi Satu lagi pembesar asy’ari sufi dikemukakan sebagai hujjah untuk menghantam manhaj salaf dan ahlinya. Al-Buthi ini dikenal dengan sikap permusuhannya terhadap Manhaj Salaf dan ahlinya. Beliau menyatakan bahwa bermadzhab secara mu’ayan (spesifik) adalah wajib dan menyatakan bahwa tidak bermadzhab adalah suatu kebid’ahan yang membahayakan agama, sebagaimana tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al- Laamadzhabiyyah
Akhtharu Bid’ah. Beliau juga menyatakan bahwa salafiy bukanlah manhaj, namun merupakan zaman penuh berkah belaka, sebagaimana termaktub di dalam kitabnya as- Salafiyatu Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islamiy, yang isinya mencela penisbatan salafiy dan membatalkan manhaj salaf dari pokoknya. Tampaknya, al- Mudzabdzab al-Hizbi sepertinya menukil pendapat al-Buthi ini ketika menyangkal tentang eksistensi manhaj salaf di dalam risalah bantahannya yang ’gelap gulita’. Insya Allah akan datang penjelasan dan bantahannya pada pembahasannya. Al-Buthi ini adalah seorang Asy’ariyah tulen dan pembela madzhab Asy’ariyah. Hal ini tampak di dalam kitabnya yang berjudul Kubro al- Yaqqiniyaat al-Kauniyah[5] namun beliau melakukan kontradiksi dengan kitabnya terdahulu yang berjudul al-Aqidah al- Islamiyah wal Fikru al- Mu’ashir yang menetapkan manhaj salaf dengan menukil dari buku al-Ibanah ’an Ushulid Diyaanah karya Imam al- Jalil Abul Hasan al-Asy’ari. Berikut ini saya nukilkan kontradiksi al-Buthi dari kedua kitabnya yang saya nukil dari Majalah al- Asholah (no. 12/15 Shofar 1415/Tahun II/Yordania) di dalam artikel yang berjudul DR. al-Buthi min Khilaali Kutubihi yang disusun oleh Syaikh Abu Abdillah asy-Syaami. Kubro al-Yaqqiiniy Kauniyyah Tentang Hadits Ahad Hadits Ahad tida diperhitungkan seb membangun masala Tentang Kalamullah Beliau berkata khalqul Qur’an (Pe
al-Qur’an makhluk dengan uslub filo pemahaman yang yang beliau namai kalam nafsi atau dengan tetap me sifat kalam bag namun hanya beru belaka tanpa su huruf. Menganggap syadz (g Ahmad bin Hanbal ra dari Ahlis Sunnah dala i’tiqod beliau tent Kalam bagi Allah, b kalam-Nya dengan h suara. Ketinggian Allah Beliau mengingka berada di atas Nya, beristiwa di a
Nya. Sifat Allah Meniadakan
menakwilkan sifa yang Agung seperti
Wajah, Mata, d sebagainya. Mengingkari keboleha bagi Allah atau Maji’ (kehadiran) dan (kedatangan) atau ya dengannya. Pencampuradukan
antara madzhab sala madzhab m (menyerahkan makna s
menetapkannya se aqidahnya Hasan al-Ba Menganggap bahwa dan Ahlus Sunnah ber dalam kemakhlukan dan perbedaan keduanya
permasalahan perbed belaka. DR. Said Ramadhan al-Buthi
pernah berdialog dengan Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani dan muridnya, Syaikh Muhammad Ied Abbasi[6] seputar masalah madzhabiyah. Al-Buthi menulis sebuah buku yang mengharamkan bagi seorang muslim untuk tidak bermadzhab yang tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al- Laamadzhabiyah Akhtaru Bid’ah Tuhaddidu asy- Syarii’atal Islamiyyah. Syaikh Muhammad Ied Abbasi membantah syubuhat dan argumentasi al-Buthi di dalam kitab beliau yang berjudul Bid’atut Ta’ashshubil Madzhabi wa Atsaruha al- Khathirah fi Jumudil Fikri wa Inhithaatil Muslimiin (Bid’ahnya fanatik terhadap madzhab dan pengaruhnya yang berbahaya bagi kebekuan pemikiran dan pembodohan kaum muslimin). Di dalam kitab setebal lebih dari 350 halaman ini, syaikh Muhammad Ied Abbasi memangkas kerancuan dan kesalahkaprahan al-Buthi di dalam memandang wajibnya bermadzhab secara spesifik/tertentu. Faham ini berangkat dari pemahaman tentang tertutupnya pintu ijtihad pasca generasi Imam yang empat dan pemilahan manusia di dalam agama ini hanya menjadi dua, yakni imma seorang mujtahid atau imma seorang muqollid. Padahal pemilahan
yang demikian ini adalah pemilahan yang kurang dan tidak mencukupi. Berikut inilah penjelasan yang dipaparkan oleh Syaikh al-Allamah al- Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani rahimahullahu : ”Termasuk hal yang disepakati oleh para ulama bahwa taklid adalah ”Mengambil suatu pendapat tanpa diketahui dalilnya.” Artinya taklid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama menetapkan bahwa orang yang melakukan taklid tidak dinamakan orang yang alim.[7] Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini di dalam Jami’ Bayanil Ilmi (II/37 dan 117), Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (III/293) dan Suyuthi serta para peneliti
lainnya, hingga sebagian mereka secara berlebihan mengatakan, ”Tidak ada perbedaan antara taklid terhadap hewan dengan taklid terhadap manusia.” Penulis kitab al-Hidayah berkata berkaitan dengan seorang ahli taklid yang memegang jabatan hakim, ”Adapun taklid yang dilakukan oleh orang awam menurut kami adalah boleh, berbeda dengan pendapat imam Syafi’i. [8] Oleh karena itu, para ulama berkata bahwa orang yang taklid tidak diperkenankan untuk memberikan fatwa. Dengan mengetahui hal itu, maka jelaslah bagi kita sebab yang mendorong kaum salaf mencela dan mengharamkan taklid,[9] karena perbuatan taklid dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari al-Kitab dan as- Sunnah dalam rangka berpegang teguh dengan pendapat para imam dan taklid terhadap mereka sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ahli taklid.[10] Bahkan larangan melakukan taklid seperti ini telah dinyatakan secara transparan oleh para imam generasi baru dalam kalangan madzhab Abu Hanifah.[11] Al-Buthi disusupi pemahaman bahwa ia menjadikan ijtihad sebagai sisi yang berhadapan dengan taklid, jika seseorang tidak bertaklid maka tentulah berijtihad. Sehingga ia menuduh para du’at sunnah atau salafiyin mewajibkan pengikutnya untuk berijtihad baik ia seorang yang alim maupun jahil, dan ia menyatakan bahwa taklid adalah haram baik terhadap seorang alim maupun jahil. Tentu saja ini
adalah kesalahan dan kedangkalan dalam berfikir
serta kesalahfahaman yang sangat nyata. Al-Buthi tidak menyadari bahwa selain ijtihad dan taklid, ada sisi ketiga, yaitu ittiba’, dan para imam telah memahami bahwa yang dimaksud dengan ittiba’ adalah mengikut pendapat seorang imam karena kuatnya dalil, yaitu dalil menjadi acuan pertama bukannya ucapan imam itu sendiri. Maka dari sini, jelas bahwa sisi yang berhadapan langsung dengan taklid adalah ittiba’ bukan ijtihad. Sebagai kesimpulan adalah bahwa para du’at sunnah atau salafiyun tidaklah mewajibkan ijtihad kepada para pengikutnya, tuduhan salafiyin mewajibkan ijtihad kepada pengikutnya ini jelas adalah suatu kedustaan terhadap salafiyin, karena ijtihad adalah hak para ulama yang memiliki kapasitas memadai untuk berijtihad. Namun salafiyun mewajibkan pengikutnya untuk ittiba’ kepada setiap muslim yang memiliki dalil terkuat, baik dari pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Tsauriyah ataupun Zhahiriyah maupun selainnya yang ditopang oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu salafiyun mengharamkan taklid kecuali dalam keadaan darurat, seperti orang yang tidak mampu meneliti dalil, maka tiada kewajiban baginya melainkan hanyalah taklid, dan inipun dalam keadaan darurat.[12] Adapun karyanya yang berjudul as-Salafiyyatu Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyah merupakan buku yang penuh dengan kegelapan dan celaan terhadap salaf. Syaikh Salim al-Hilali menyebutkan bahaya buku ini sebagai berikut : 1. Al-Buthi berusaha
mencela as-Salaf dan Manhaj Ilmiah mereka dalam talaqqi, istidlal dan itstinbath. Dengan demikian, ia telah menjadikan
mereka seperti orang-orang
yang ummi yang tidak memahami al-Kitab
melainkan hanya angan-angan. 2. Dia telah menjadikan
manhaj salaf dan salafiyyah
hanyalah sejarah masa lalu yang telah sirna dan takkan kembali lagi kecuali hanya dalam angan- angan. 3. Mengklaim
bid’ahnya
berintisab kepada
salaf, sehingga ia telah mengingkari satu perkara yang sudah dikenal dan tersebar
sepanjang zaman secara turun temurun. 4. dia berputar seputar manhaj salaf dalam rangka
membenarkan
madzhab kholaf dimana akhirnya ia menetapkan bahwa manhaj kholaf adalah penjaga dari kesesatan hawa nafsu dan menyembunyikan
kenyataan-
kenyataan
sejarah bahwa manhaj kholaf telah
menghantarkan
kepada
kerusakan pribadi
muslim dan pelecehan
terhadap manhaj Islam.[13] Di sinilah kesekian kali, simpatisan Hizbut Tahrir ini membawakan bantahan terhadap salafiyin dengan ucapan-ucapan atau tulisan para fanatikus madzhabi yang melazimkan seorang muslim untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu, bahkan
mengharamkan dan membid’ahkan madzhab salaf yang hakikatnya madzhab salaf ini tidak fanatik terhadap seorangpun selain Rasulullah dan tidak menganjurkan kaum muslimin untuk bermadzhab secara mu’ayan (spesifik), hal ini menunjukkan bagaimana HT dan para ulama fanatikus madzhabi yang mereka jadikan acuan berupaya melanggengkan ta’ashshub madzhabi dan mengajak kaum muslimin untuk taklid kepada para imam madzhab, tidak kepada dalil yang rajih dari madzhab mereka. Sebenarnya saya ingin sekali menambahkan penjelasan secara mendetail tentang penyimpangan dan kesalahan al-Buthi yang ditulis oleh para ulama sunnah[14], namun saya rasa apa yang saya nukil cukup adanya. Namun jika sekiranya al-Mudzdabdzab al-Hizbi dan Lazuardi al- Haqid menghendaki untuk melanjutkan mengupas kejelekan al-Buthi ini, maka insya Allah peperangan antara pembelaan yang haq dan penghancuran yang bathil ini akan terus berjalan. Apalagi, si mudzbdzab al- jahil ini hanyalah menukil dan main comot belaka dari situs-situs sufiyah, jahmiyah dan ahlul bid’ah lainnya, tanpa mau tahu apa isi dari nukilan- nukilannya. Sungguh tidak aneh lagi…!!! Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq
al-Ghumari Satu lagi dari Maroko, pembenci Syaikh al- Muhaddits al-Albani rahimahullahu. Abdullah al- Ghumari ini terkenal akan kesufiyahannya. Dia seorang pembela madzhab sufi tulen dan ia mengklaim
bahwa dia adalah Syafi’iyah. Syaikh Abdullah
ini walaupun tidak bersepakat dengan al- Kautsari, bahkan beliau membantah dan menghabisi al-Kautsari dalam kitabnya Bida’ut Tafasir, namun mereka berdua berserikat di dalam menghantam ahlus sunnah dan dakwah Tauhid. Abdullah al-Ghumari
ini tidak menyukai Albani karena sikap keras Albani di dalam memerangi sufi dan kebid’ahan. Kebenciannya terhadap Albani tampak dari judul- judul karangannya. Ia bahkan tidak segan-segan menggelari Albani dengan gelar jahat, mubtadi’, ekstrim dan semacamnya. Karyanya yang berjudul Irghamul Mubtadi’ al- Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi ’ala al- Albani al-Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu Tentang Bolehnya Bertawasul Dengan Nabi Sebagai Bantahan Terhadap Albani Yang Jahat) menjadi saksi atas kedengkiannya terhadap al-Albani dan saksi atas aqidahnya yang menyimpang. Dia memperbolehkan bertawasul kepada Nabi, ziarah ke kuburan Nabi dan bertabaruk dengannya, menganjurkan membangun kubah di atas kuburan dan semacamnya. Walaupun dikatakan dia adalah termasuk orang yang mengetahui seluk beluk hadits, namun ilmunya tidaklah menjadikan dirinya selamat
dari fanatik terhadap sufiyah. Ia mengumpulkan zallatul ulama (kesalahan- kesalahan ulama) dan dijadikannya sebagai dalil untuk menolak serta menakwil hadits-hadits nabi. Bahkan untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan bahwa ada bid’ah hasanah di dalam agama ini sebagaimana tertuang di dalam kitabnya Itqaan as- Sun’ah fi Tahqiqi Ma’nal Bid’ah (Aktivitas Yang Mulia di dalam Penelitian Makna Bid’ah). Syaikh Ali Hasan al-Halabi membantah bukunya ini secara sekilas di dalam kitab beliau yang berjudul Ilmu Ushulil Bida’. Sesungguhnya, hal yang saya sebutkan ini telah mencukupi untuk mengetahui hakikat al- Ghumari ini. Penjelasan lebih rinci tentang hakikat al-Ghumari ini telah dipaparkan oleh Syaikh Ali Hasan di dalam bantahannya terhadap dirinya dan telah disibak pula kesesatannya di dalam Majalah al-Asholah (15 Rabi’ul Akhir 1420/ no. 11/th. IV/Yordania) di dalam artikel yang berjudul Min Dlolalaati al- Ghumari fi Ta’liiqihi ’ala at-Tamhid[15] (Diantara Kesesatan al-Ghumari di dalam Komentarnya Terhadap at-Tamhid) yang ditulis oleh Syaikh Umar al-
Ahmadi. Abdul Aziz bin Muhammad ash-Shiddiq
al-Ghumari Saya tidak begitu tahu tentang Abdul Aziz al- Ghumari dikarenakan minimnya referensi yang saya miliki. Karena yang saya tahu adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-
Shidiq al-Ghumari, saudara dari Syaikh Abdullah al- Ghumari. Dan saya menahan diri dari dirinya, karena sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah tidak berbicara melainkan berlandaskan ilmu. Wallahul Muwaafiq. Abdul Fattah Abu Ghuddah Dia termasuk diantara barisan murid al-Kautsari yang fanatik dengan gurunya. Dan telah berlalu penjelasan tentang al- Kautsari dengan turut menyinggung Abu Ghuddah ini. Beberapa ulama telah membantah
penyelewengan Abu Ghuddah ini. Syaikh Rabi’ bin Hadi memiliki kitab yang membantah Abu Ghuddah dan Muhammad ’Awwamah di dalam taqsim (pemilahan) hadits menjadi shahih dan dha’if. Telah jelas hakikat Abu Ghuddah ini, sehingga tidak perlu diulangi lagi. Muhammad ’Awwamah al-Halabi Dia adalah seorang dari Mesir, guru dari Mamduh Sa’id bin Muhammad Mamduh. Muhammad Awwamah ini adalah teman dekat al-Ghumari yang terkenal kedengkian dan permusuhannya terhadap Ahlus Sunnah dan Ahlut Tauhid. Syaikh Albani mengatakan bahwa Muhammad Awwamah inilah
diantara orang yang mendorong Mamduh Sa’id menulis buku Tanbihul Muslim ila Ta’addi al-Albani
’ala Shaihil Muslim. Syaikh Rabi’ bin Hadi dan Syaikh Ali Hasan telah membantah Muhammad ’Awwamah ini, walhamdulillah. Mamduh Sa’id bin Muhammad Mamduh al-
Qahirah Dia menulis Wushul at- Tahanni bi Itsbaati Sunniyat as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih Cahaya Manfaat dan Ketetapan Sunnahnya Tasbih dan Bantahan Terhadap Albani) dan Tanbiihul Muslim ila Ta’addil Albani ’ala Shahih Muslim (Peringatan Terhadap Muslim Tentang Kelancangan Albani Terhadap Shahih Muslim). Sebelumnya, Mamduh Sa’id Mamduh ini memiliki sikap yang jauh berbeda dengan sikapnya yang terakhir. Dia pernah menulis surat kepada Syaikh al-Albani yang menyebut Syaikh al-Albani sebagai al-Ustadz asy- Syaikh al-Allamah al- Muhaddits atau al-Allamah Ustadz kami, berikut ini saya nukilkan suratnya : Ustadz
Kami, al- Allamah.
Alhamdulillah
kami
memuji
kepada
Allah yang telah
menciptakan
seseorang
yang mau berkhidmat
kepada
as-
Sunnah,
meneliti
mana hadits
yang
shahih
dan mana hadits
yang
dha’if,
serta
memilah-
milah mana
yang baik dan mana yang
buruk.
Alhamdulillah,
saya bisa mendapatkan
kitab-
kitab hasil
penelitian
hadits
yang anda tulis yang
amat
bermutu
dan
berharga.
Saya ikut menjaga
kitab-
kitab
anda
tersebut
dari masuknya
tangan-
tangan
yang
tidak
bertanggung jawab,
karena
saya
telah
menisbatkan
diri masuk ke dalam kelompok
anda! Alhamdulillah,
saya
telah
mengikuti
semua
kitab- kitab
anda.
Yang
terakhir
adalah
kitab Irwa’ al- Ghalil fi Takhrij
Manaris
Sabil. Kami
juga telah
menelaah
tulisan- tulisan
tangan
anda
yang
belum
sempat tercetak
seperti
Tamamul
Minnah bi Ta’liq
’ala
Fiqhis
Sunnah.
Tatkala
anda berkunjung
ke Kairo, kami
selalu
mengikuti
ceramah-
ceramah
anda, di Markaz
Anshorus
Sunnah
Abidin, di Jami’
Anshorus
Sunnah
Zaitun,
Jami’ah
’Ainusy Syamsi
dan
tempat-
tempat
lainnya. Kemudian
tatkala
anda
kembali
lagi (ke Kairo)
tidak
selang
berapa
lama kami pun
menjadi
pendengar
pertama
terhadap
pelajaran- pelajaran
anda.
Dengan
sebab
itulah,
meskipun tentu ada
sebab-
sebab
lainnya,
Allah
telah membuat
saya
cinta
dengan
dengan
ilmu hadits
dan suka mempelajari
hadits-
hadits,
bahkan
hingga
dimanapun kami
berada
sellau
menyandang
kitab-
kitab hadits. Penulis Abu
Sulaiman
Mahmud
Sa’id bin Muhammad
Mamduh
al-Qahirah Nazil ar- Riyadh
22/2/1401 H.[16] Apakah yang menyebabkan Mamduh Sa’id berubah seratus delapan puluh derajat?? Setelah menyanjung- nyanjung kemudian menghina dan melecehkan?? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena jeratan para pendengki yang menjejalinya dengan pikiran-pikiran buruk dari segala penjuru. Akhirnya dia pun terjerat oleh hawa nafsunya sendiri sehingga berani tampil bagaikan orang yang mumpuni ilmunya dan mulai berani membantah orang yang dulu disanjung- sanjungnya. Mamduh Sa’id ini tidak fair sebagaimana as- Saqqof, dia menyembunyikan hakikat dan mengungkap kejahilannya di depan khayalak. Dia membantah secara kasar Syaikh Al- Albani dan dipoles agar tampak ilmiah di dalam kitabnya Tanbihul Muslim ila Ta’addi Albani ’ala Shahihil Muslim. Di dalam bukunya ia menyanjung- nyanjung Abdullah al- Ghumari sebagai al-Allamah al-Alim al-Jihbidz al-Hibr al-
Mudaqqiq al-Muhaqqiq, padahal gurunya tersebut berani mendhaifkan hadits Bukhari Muslim. Abdullah Al-Ghumari mendhaifkan hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah tentang rakaat sholat safar yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim di dalam risalahnya yang berjudul ash-Shubhu was Safir (hal. 16) bukan karena cacat sanadnya, namun katena menurut anggapannya hadits tersebut bertentangan dengan al-Qur’an padahal pemahamannyalah yang salah. Mamduh Sa’id juga menyanjung saudara Abdullah al-Ghumari yaitu Ahmad bin Muhammad al- Ghumari dengan sebutan al-Imam al-Hafizh al- Muhaddits an-Naaqid Nadiratul Ashri, bahkan di dalam bukunya, at-Tanbih (hal. 78) ia menyanjungnya secara berlebih-lebihan dengan mengatakan, ”Tidak ada orang sepertinya setelah al- Hafizh as-Sakhowi dan as- Suyuthi yang ahli di dalam bidang hadits…” Padahal Ahmad al-Ghumari ini mendhaifkan hadits di dalam shahihain yang diriwayatkan dari Jabir dan Ibnu Abbas tentang sholat gerhana matahari di dalam kitabnya yang berjudul al-Hidayah fi Takhrij Ahadits al-Bidayah (IV/197-201) dengan perkataannya : ”Hadits ini dusta dan bathil menurut akal sehat, meskipun terdapat dalam shahih Muslim, karena gerhana matahari hanya terjadi sekali pada hari meninggalnya Ibrahim, anak Muhammad Shallallahu ’alaihi wa sallam. Ini juga merupakan pendapat para imam ahli hadits.” Pendhaifan yang dilakukan oleh al-Ghumari ini sebelumnya telah dinyatakan oleh Albani di dalam kitab beliau Irwa’ul Ghalil yang oleh Mamduh Sa’id dimasukkannya sebagai tindakan kelancangan Albani terhadap shahih Muslim. Lantas mengapa Mamduh ini hanya menganggap Albani saja yang lancang?? Mengapa tidak disebutkan juga orang yang digelarinya dengan al-Imam
al-Hafizh al-Muhaddits an- Naaqid Nadiratul Ashri Ahmad al-Ghumari dengan tuduhan lancang terhadap shahih Muslim?? Lantas dimanakah keadilan dan amanah itu?!! Ternyata usut punya usut, Mamduh Sa’id yang disebut oleh al- Mudzabdzab ini sebagai Imam hadits ternyata lemah dan dangkal dalam ilmu hadits, karena dia tidak memahami tentang tadh’if beberapa hadits yang terdapat di dalam Shahihain dan dia anggap sebagai kelancangan dan kezhaliman. Padahal dirinya
sendiri yang telah melakukan kezhaliman. Mamduh telah mengatakan
bahwa al-Albani telah melakukan kezhaliman terhadap Shahih Muslim karena beliau rahimahullahu telah menyatakan di dalam Muqoddimah Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah bahwa tidak semua hadits yang terdapat di dalam Shahih Bukhari atau Shahih Muslim itu semuanya dengan serta merta adalah shahih sebelum penelitian kembali secara mendalam… lantas bagaimana dia mensikapi ucapan gurunya, al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an- Naaqid Nadiratul Ashri Ahmad al-Ghumari yang berkata di dalam al- Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah (IV/201) yang berkata : ”Beberapa hadits palsu terdapat juga di dalam kitab ash-Shahihain. Dinamakan palsu karena di dalam hadits-hadits tersebut terdapat sesuatu yang terbukti batil. Oleh karena itu janganlah anda tertipu. Janganlah anda takut meninggalkan hadits tersebut walaupun para ulama telah bersepakat menilai shahih isi yang dikandungnya, karena sesungguhnya itu hanyalah klaim kosong yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
ketika dibahas dan diteliti secara mendalam. Adanya kesepakatan shahihnya seluruh hadits yang ada di dalam kitab ash-shahihain pun tidak bisa diterima secara akal dan tidak realistis. Akan tetapi, bukan berarti hadits- hadits yang ada di dalam kitab ash-shahihain adalah dhaif ataupun bathil atau di dalamnya banyak hadits-hadits yang serupa dengan itu. Yang dimaksud adalah bahwa di dalam kitab tersebut ada beberapa hadits yang tergolong tidak shahih karena bertentangan dengan kenyataan.” Apakah yang akan dia katakan mengenai ucapan ini?? Amboi, apakah dia juga akan mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ahmad bin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar