Entri Populer

Minggu, 16 Oktober 2011

U-Beberapa Tahun Yang Lalu Tidak Berpuasa Ramadhan Karena Haid Dan Belum Mengqadhanya

Kategori Puasa : Fiqih Puasa Beberapa Tahun Yang Lalu Tidak Berpuasa Ramadhan Karena Haid Dan Belum Mengqadhanya Kamis, 21 Oktober 2004 13:21:09 WIB SEKARANG BERUSIA LIMA PULUH TAHUN, DUA PULUH TUJUH TAHUN YANG LALU TIDAK MENJALANKAN PUASA RAMADHAN SELAMA LIMA BELAS HARI Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Pertanyaan Syaikh Ibnu Baaz ditanya : Sekarang saya berumur lima puluh tahun, dua puluh tujuh tahun yang lalu saya tidak berpuasa selama lima belas hari karena melahirkan salah seorang anak saya, dan saya belum sempat mengqadhanya di tahun tersebut, bolehkah saya mengqadha puasa itu saat ini, dan apakah saya berdosa.? Jawaban Hendaknya Anda bertobat kepada Allah karena penundaan ini dan Anda harus mengqadha puasa yang lima belas hari itu dengan disertai memberi makan kepada seorang miskin sejumlah hari yang Anda tinggalkan sebanyak setengah sha' yang berupa makanan pokok. [Kitab Fatawa Ad- Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/159] BEBERAPA TAHUN YANG LALU TIDAK BERPUASA RAMADHAN KARENA HAIDH DAN BELUM MENGQADHANYA Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Pertanyaan Syaikh Ibnu Baaz ditanya : Pada salah satu bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu, saya mendapat haidh oleh karenanya saya tidak berpuasa dan sampai saya belum mengqadha utang puasa itu, tapi saya tidak mengetahui berapa jumlah hari yang harus saya qadha itu, apa yang harus saya lakukan ? Jawaban Anda harus melaksanakan tiga hal. Pertama : Bertobat kepada Allah karena keterlambatan itu dan menyesali apa yang telah Anda mengabaikan suatu ketetapan Allah, di samping itu Anda harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [An- nur : 31] Menunda-nunda qadha puasa adalah suatu maksiat, maka bertaubatlah kepada Allah dari itu adalah suatu kewajiban. Kedua : Segera mengqadha puasa berdasarkan perkiraan Anda dalam menentukan jumlah harinya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani seseorang kecuali apa yang disanggupinya. Berapa jumlah hari yang telah Anda tinggalkan menurut dugaan Anda, maka sejumlah hari itulah yang harus Anda qadha. Jika Anda perkirakan bahwa puasa yang harus Anda qadha itu sepuluh hari, maka hendaklah Anda berpuasa sepuluh hari, dan jika Anda menduga bahwa jumlah lebih banyak atau kurang dari itu, maka berpuasalah Anda berdasarkan dari sepuluh hari makan berpuasalah Anda dengan berpatokan pada dugaan Anda itu, berdasarkan firman Allah. "Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuatu dengan kesanggupannya" [Al- Baqarah : 286] Dan firman Allah. "Artinya : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" [At- Taghabun : 16] Ketiga : Memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang Anda qadha itu, dan itu bisa diberikan seluruhnya kepada satu orang miskin. Jika Anda sendiri seorang yang miskin sehingga tidak dapat memberi makan, maka tidak mengapa Anda tidak melakukan yang ini tetapi tetap bertaubat dan mengqadha puasa. Jika Anda mampu memberi makan, maka jumlah yang harus diberikan adalah setengah sha' makanan pokok, yaitu sekitar satu setengah kilogram. [Majmu'ah Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baaz, 6/19] MEMPUNYAI UTANG PUASA SELAMA DUA RATUS HARI KARENA KETIDAK TAHUANNYA DAN SEKARANG SEDANG SAKIT Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita berusia lima puluh tahun tengah menderita diabetes (penyakit gula), sementara puasa baginya adalah suatu hal yang sangat memberatkan karena kondisinya yang seperti itu. Kendati demikian ia tetap berpuasa pada bulan Ramadhan, hanya saja ia tidak tahu bahwa hari-hari haidhnya di bulan Ramadhan harus diqadha, dan jika dihitung masa haidhnya selama beberapa tahun lalu itu, maka ia harus mengqadha puasa selama dua ratus hari, bagaimanakah hukumnya yang dua ratus hari ini, sebab kini ia sedang sakit ? Apakah Allah mengampuni apa yang telah lalu itu, ataukah ia tetap harus berpuasa dan memberi makan orang yang berpuasa ? Apakah mesti memberi makan kepada orang yang berpuasa, atau memberi makan kepada sembarang orang miskin ? Jawaban Jika keadaannya seperti yang digambarkan oleh penanya, yaitu puasa akan membahayakan dirinya kerena usianya yang telah lanjut atau karena penyakit yang dideritanya, maka ia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak hari tersebut. Begitu juga dengan puasa-puasa yang akan datang jika berpuasa itu menyulitkan baginya dan tidak ada harapan untuk keluar dari kesulitannya itu, yaitu harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditiinggalkannya. [Durus wa Fatawa Al-Haram Al- Makki, Ibnu Utsaimin, 3/54] [Disalin dari buku Al- Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin] © copyleft almanhaj.or.id seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.t

T-Tidak Mampu Mengqadha Puasa

Kategori Puasa : Fiqih Puasa Tidak Mampu Mengqadha Puasa Kamis, 21 Oktober 2004 12:52:26 WIB APAKAH KELUARNYA AIR KETUBAN DAPAT MEMBATALKAN PUASA Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita tengah hamil sembilan bulan saat bulan Ramadhan. Pada permulaan bulan Ramadhan tersebut wanita itu mengeluarkan cairan, cairan itu bukan darah dan dia tetap berpuasa saat cairan itu keluar, hal ini telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Yang saya tanyakan adalah ? Apakah wanita itu diwajibkan untuk mengqadha puasa, sebab saat mengeluarkan cairan itu ia tetap berpuasa .? Jawaban Jika kenyataannya seperti yang disebutkan maka puasa wanita itu sah dan tidak perlu mengqadhanya. [Fatawa Al-Lajnah Ad- Daimah Lil Ifta, 10/221, fatwa nomor 6549] MENGQADHA PUASA BAGI YANG TIDAK PUASA KARENA HAMIL Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Saya hamil di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa. dan sebagai penggantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah, kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan, sehari demi sehari selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah .? Jawaban Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti keadaan orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185] [ibid, 10/219, fatwa nomor 114.] TIDAK MAMPU MENGQADHA PUASA Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Saya seorang wanita yang sakit, saya tidak berpuasa beberapa hari pada bulan Ramadhan lalu dan karena sakit yang saya alami maka saya tidak dapat mengqadha puasa, apakah yang harus saya lakukan sebagai kaffarah-nya .? Kemudian juga, saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang saya lakukan sebagai kaffarah-nya .? Jawaban Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyari'atkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah memberinya kesembuhan maka ia harus mengqadha puasanya itu berdasarkan firman Allah. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185] Dan Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang yang sakit serta orang yang musafir, dan Allah suka jika rukkhshah-Nya itu dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat. [Fatawa Ash-Shiyam, halaman 57] ORANG MENINGGAL YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN PUASA Oleh Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta Pertanyaan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Bila ada seorang muslim yang meninggal, baik pria maupun wanita, sementara ia mempunyai tanggungan puasa yang harus diqadha, apakah harus dipuasakan oleh keluarganya ataukah cukup memberi makan orang miskin atas namanya .? Dan bagaimana pula hukumnya jika puasa yang belum dilaksanakannya itu puasa nadzar, bukan qadha Ramadhan .? Jawaban Jika seorang meninggal dengan tanggungan puasa Ramadhan yang belum diqadhanya karena sakit, maka untuk hal ini ada dua kemungkinan . Kemungkinan pertama : Penyakit yang dideritanya itu terus berlanjut sampai meninggal sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha puasa. Jika demikian keadaannya maka tidak ada kewajiban apapun baginya, tidak ada kewajiban untuk mengqadha puasa dan tidak pula kewajiban untuk memberi makan, karena ada halangan untuk mengqadha puasa. Kemungkinan kedua : Jika ia telah sembuh dari penyakit yang menyebabkan ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu datang bulan Ramadhan berikutnya, sementara ia belum mengqadha puasa Ramadhan yang pertama, kemudian setelah Ramadhan kedua ia meninggal, maka wajib bagi keluarganya memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya pada bulan Ramadhan yang pertama atas nama dia, hal ini dilakukan oleh keluarganya atas namanya, karena ia telah melakukan kelalaian dalam mengqadha puasa. Adapun cukupnya mengqadha puasa yang dilakukan oleh keluarganya, para ulama telah berbeda pendapat tentang hal ini. Kemudian bila puasa yang belum ia laksanakan itu puasa nadzar, maka puasanya itu harus dipuasakan oleh keluarganya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Barangsiapa yang mati dan ia mempunyai tanggungan puasa" dalam riwayat lain disebutkan : "Puasa orang yang bernadzar hendaknya walinya mempuasakan untuknya". [ibid] [Disalin dari buku Al- Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin] © copyleft almanhaj.or.id seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.

K-Mendapatkan Kesucian Dari Haid Atau Nifas Sebelum Fajar Dan Mandi Setelah Fajar, Apakah Puasanya Sah.

Kategori Puasa : Fiqih Puasa Mendapatkan Kesucian Dari Haid Atau Nifas Sebelum Fajar Dan Mandi Setelah Fajar, Apakah Puasanya Sah Sabtu, 16 Oktober 2004 07:43:58 WIB MENDAPAT KESUCIAN DARI HAID ATAU NIFAS SEBELUM FAJAR DAN TIDAK MANDI KECUALI SETELAH FAJAR Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita mendapat kesucian dari haid atau dari nifas sebelum fajar dan tidak mandi kecuali setelah fajar, apakah puasanya sah atau tidak ? Jawaban Ya, sah puasa wanita itu yang mendapat kesucian dari haidh sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar, begitu pula wanita yang mendapat kesuciannya dari nifas, karena pada saat itu ia telah termasuk pada golongan orang yang wajib puasa, dan dia sama halnya dengan orang yang junub di waktu fajar, orang yang junub di waktu fajar puasanya sah berdasarkan firman Allah. "Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" [Al- Baqarah : 187] Maka jika Allah mengizinkan bersetubuh hingga tiba waktu fajar maka dibolehkan mandi junub setelah terbitnya fajar. Juga berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di waktu Shubuh dalam keadaan junub karena mencampuri istrinya dan beliau tetap berpuasa" maksudnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mandi junub kecuali setelah waktu Shubuh. WANITA HAID DAN NIFAS, BOLEHKAH MAKAN DAN MINUM DI SIANG HARI PADA BULAN RAMADHAN Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah wanita haid dan wanita nifas makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan ? Jawaban Ya, boleh bagi keduanya untuk makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, akan tetapi yang lebih utama adalah dilakukan secara tersembunyi, apalagi jika wanita itu mempunyai anak di rumah, karena jika si anak melihat ibunya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan maka hal itu dapat menimbulkan masalah dalam diri mereka. [Durus Wa Fatawa Al- Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/63] [Disalin dari buku Al- Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin] © copyleft almanhaj.or.id seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.

J-Tidak Berpuasa Selama Masa Haid, Ia Memberi Makan, Apakah Wajib Qadha Puasa Baginya

Kategori Puasa : Fiqih Puasa Tidak Berpuasa Selama Masa Haid, Ia Memberi Makan, Apakah Wajib Qadha Puasa Baginya Kamis, 14 Oktober 2004 10:01:24 WIB TIDAK BERPUASA SELAMA MASA HAIDH, DAN SETIAP KALI TIDAK BERPUASA IA MEMBERI MAKAN, APAKAH WAJIB QADHA BAGINYA Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Pertanyaan. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Ibuku berumur enam puluh tahun, ia tidak mengqadha puasanya selama hari-hari haidh di bulan Ramadhan yang telah ia tinggalkan sejak ia bersuamikan ayahku, hal itu dikarenakan ayahku bekata kepada ibuku agar ber- kaffarah- dengan memberi makan fakir miskin setiap hari sebagai pengganti qadha puasa, karena ia adalah seorang ibu yang telah memiliki beberapa orang anak, hal itu dilakukannya selama dua puluh tahub, dengan tujuh hari masa haidh di setiap bulan Ramadhan, apa yang wajib ia lakukan ? Apakah ia harus berpuasa selama hari-hari yang telah ditinggalkan itu atau ia harus bersedekah ? Dan berapakah ukuran sedekahnya itu ? Jawaban Yang wajib dilakukan oleh ibu Anda adalah mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan dengan tidak berpuasa di bulan Ramadhan selama masa haidh, sekalipun itu terjadi berulang-ulang selama beberapa kali bulan Ramadhan. Hendaklah ia menghitung hari-hari tersebut dan mengqadha puasa sejumlah hari-hari itu, bersamaan dengan mengqadha puasa itu ia diwajibkan memberi makan seorang miskin setiap hari selama hari- hari puasa yang diqadha, sebesar satu setengah sha' setiap harinya sebagai kafarat (penebus) penundaan qadha puasa dari waktu yang seharusnya, dan boleh baginya mengqadha puasa itu secara berurutan atui tidak berurutan sesuai dengan kodisinya. Yang penting bahwa tidak boleh baginya meninggalkan qadha puasa itu, dan ayah Anda telah melakukan kesalahan besar dengan mengeluarkan fatwa tanpa didasari ilmu. [Kitab Al-Muntaqa Min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-fauzan, 2/138-139] MERASA ADA DARAH TAPI BELUM KELUAR SEBELUM MATAHARI TERBENAM Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita merasakan adanya darah dan darah itu belum keluar sebelum terbenamnya matahari atau ia merasakan sakit yang biasanya ia alami pada masa hiad, apakah puasanya itu sah ataukah ia harus mengqadha puasanya pada hari itu ? Jawaban Jika seorang wanita suci merasakan akan datang masa haidnya saat ia berpuasa, akan tetapi darah itu tidak keluar kecuali setelah terbenamnya matahari, atau ia merasakan sakit haidh akan tetapi darah haidh itu belum keluar kecuali setelah terbenamnya matahri, maka puasanya pada hari itu adalah sah dan tidak ada ketetapan mengqadha puasa pada hari itu jika ia sedang melaksanakan puasa wajib, dan jika ia sedang melaksanakan puasa unnat maka kondisi itu tidak menghilang pahala puasanya. [52 Sua'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 11-12] [Disalin dari buku Al- Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin] © copyleft almanhaj.or.id seluruh artikel dan tulisan di situs almanhaj.or.id dapat disebarluaskan, dengan mencantumkan sumbernya dan tetap menjaga keilmiahan Situs almanhaj.or.id tidak memiliki hubungan apapun dengan situs lainnya.

INILAH BUKTI KEBAIKAN PEMERINTAH SAUDI “WAHABI” UNTUK SANTRI,PESANTREN & KYAI NU INDONESIA, PALESTINA & MUSLIMIN DUNIA

INILAH BUKTI KEBAIKAN PEMERINTAH SAUDI “WAHABI” UNTUK SANTRI,PESANTREN & KYAI NU INDONESIA, PALESTINA & MUSLIMIN DUNIA : Sambutan yang baik dari pemerintah Saudi terhadap tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama (NU) yang sengaja datang untuk mengkritik pemerintah Saudi Posted 13 October, 2011 by dr.Abu Hana | أبو هـنـاء ألفردان | in Wahabi (الوهابي). Tagged: bantuan saudi, bantuan wahabi, idahram, KYAI NU, masjid wahabi, PESANTREN NU, sejarah berdarah, sekte berdarah. 3 Comments KEBAIKAN PEMERINTAH SAUDI UNTUK KAUM MUSLIMIN DUNIA[1] Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah ACEH–Arab Saudi menyerahkan bantuan rumah sebanyak 167 unit kepada korban tsunami di Lanmo, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi NAD, Kamis (6/11). Rumah tersebut tipe 45 masing-masing senilai Rp 157 juta/unit. Penyerahan dilakukan Dubes Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia Abdurahman Muhammad Alkhayat kepada Asisten II Pemerintah Aceh T Said Mustafa. Usai penyerahan rumah, termasuk sebuah masjid di dalamnya, dubes meninjau komplek perumahan yang berlokasi di Lamno, Aceh Jaya.ant/ya ——- Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui lembaga The Saudi Charity Campaign (SCC) memberikan bantuan pemulihan pasca tsunami untuk Aceh dengan total US$ 56 juta (sekitar Rp.532.000.000.000-red) Aset bantuan yang diserahkan itu adalah rehabilitasi Masjid Raya Baiturrahman, pengadaan air bersih dan pembangunan rumah bagi korban tsunami. Banda Aceh, WASPADA Online Pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui lembaga The Saudi Charity Campaign (SCC) memberikan bantuan pemulihan pasca tsunami untuk Aceh dengan total US$ 56 juta. Aset bantuan yang diserahkan itu adalah rehabilitasi Masjid Raya Baiturrahman, pengadaan air bersih dan pembangunan rumah bagi korban tsunami. Direktur SCC Aceh, Najmi Abdullah Nahdi menyampaikan itu, usai pembangunannya dan penyerahan secara resmi sebagian aset bantuan kepada Pemerintah Aceh, di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Selasa (15/1). —————- Sebuah masjid nampak berdiri kokoh bila anda melewati jalan raya Ponorogo – Pacitan. Masjid Al-Jamaah kini telah menjadi tampak lebih indah dari sebelumnya, masjid yang teletak di desa Nailan ini telah menjalani renovasi panjang. Tampilan dan bentuk bangunannya modern, untuk anda yang sering melewati jalan raya Nailan jangan kaget, tepatnya 100 meter dari pertigaaan menuju Pondok Modern Arisalah, WOW, sekarang sudah MEGAH dan Indah.——- Konstruksi bangunan mirip masjid di Saudi Arabia, hal ini dikarenakan adanya seorang Syeh dari Saudi Arabia menyisihkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid kebanggaan warga Desa Nailan (khususnya Nailan Utara). Syeh Abdurrahman Al-Bahran, beliau telah memberikan sebuah Masjid yang Indah. Dalam pembangunan Masjid tersebut, Syeh juga membangun beberapa masjid serupa di kota lain. Menurut salah satu asistennya kemarin, Beliau banyak membangun masjid di beberapa Kota di Jawa Timur. Sedangkan untuk pembiayaan pembangunan, Beliau tidak memberikan jumlah yang pasti. Menurut perkiraan saya dilihat dari bahan dan bentuk masjid, pembangunan masjid ini mencapai 300 Jutaan. Dalam kunjungannya di Masjid Al-Jamaah, Beliau juga memberikan Kitab Suci Al-Quran sebanyak kurang lebih 60 buah. Semuanya di bawa langsung dari Negeri Saudi Arabia. ————— Sejak UII menjalin kerjasama luar negeri dengan pemerintah Arab Saudi pada tahun 2004, secara berkala pemerintah Arab Saudi memberikan bantuan buku reference untuk Perpustakaan Pusat UII. Selain buku-buku mushab Islam, juga buku-buku psikologi, hukum, ekonomi, teknik, dan buku kedokteran dengan nilai milyaran rupiah. Buku tersebut ditempatkan pada salah satu ruang perpustakaan pusat UII yang diberi nama Pojok Pustaka dan Budaya Arab Saudi. Diharapkan buku-buku tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh sivitas akademika UII, bahkan bisa pula dimanfaatkan oleh perguruan tinggi Islam lainnya di Yogyakarta. Wujud dari intensitas hubungan kerjasama tersebut, pada Senin 27 April 2009 Direktur Bidang Pendidikan pemerintah Arab Saudi Dr. Ibrahim bin Abdillah Al Audah, Dr. Ibrahim bin Sulaiman An-Nugaimisi Direktur Atase Agama Islam Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, berserta rombongan yang berjumlah delapan orang berkunjung ke Universitas Islam Indonesia diterima oleh rektor Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. beserta beberapa pimpinan fakultas di lingkungan UII bertempat di Gedung Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu. Selain bantuan buku, pemerintah Arab Saudi juga memberikan bantuan untuk pembangunan sekitar 20 masjid di Yogyakarta yang penyalurannya dilakukan oleh Pusat Da’wah dan Pelayanan Masyarakat Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Beberapa masjid yang selesai dibangun antara lain di Maguwo dan Plumbon, Ngaglik, telah diresmikan oleh rektor Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. beberapa waktu yang lalu. ——————- Menag Resmikan Masjid Bantuan Saudi Arabia di STAIN Palu Palu,26/8(Pinmas)–Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni meresmikan penggunaan Masjid Al-Abrar di kompleks Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Dato Karama Palu, Sulawesi Tengah,Selasa (26/8), yang dibangun menggunakan dana bantuan pemerintah Arab Saudi tahun 2007 senilai Rp900 juta. Masjid yang diresmikan tersebut berlantai dua dengan ukuran sekitar 800 m2 dan mampu menampung 1.000 jemaah untuk sholat. Turut menyaksikan peresmian masjid di Palu pada hari Selasa itu, antara lain Atase Agama Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta Ibrahim bin Sulaiman Al-Ghuaimsyi, Gubernur Sulawesi Tengah HB Paliudju, dan Ketua STAIN Dato Karama H. Surdiman Rais. ———————- Kementerian wakaf dan urusan agama Islam Saudi Arabia menyebutkan akan membangun empat mesjid di empat kampus besar di Indonesia Iqna merilis dari surat kabar Al Madinah yang terbit di Arab Saudi, bahwa Syaikh Saleh bin Abdul Aziz Al Syaikh, menteri Wakaf dan urusan Islam menyebutkan akan membangun empat mesjid di Universitas Islam Alaudin, Universitas Hasanudin Makassar, Universitas Indonesia Jakarta dan Universitas Sumatera Utara. Pembangunan yang berjumlah 1 juta dolar ini akan dikhususkan 650 ribu darinya untuk Mesjid Arif Rahman Hakim yang akan dibangun di UI Jakarta dan sudah mulai dikerjakan. Sedangkan untuk UIN Alaudin Makassar sudah rampung 50 % dan akan menelan biaya 90 ribu dolar Amerika. Beliau juga menyebutkan, bahwa telah mengucurkan dana untuk membangun dua pusat kebudayaan dan perpustakaan di dua kota di Jawa, salah satunya di UIN Malang. Untuk proyek kedua ini dikucurkan dana 100 ribu dolar yang berbentuk buku-buku berbahasa Arab dan Inggris, tambahnya. (iqna). Sebetulnya di dalam buku Sejarah Berdarah ini juga sudah terdapat kontradiksi. Di satu sisi saudara Idahram berusaha mencitrakan pemerintah Saudi Arabia sebagai pemerintah yang sadis dan ganas layaknya Nazi Jerman yang dipimpin Hitler, bahkan lebih kejam dari Hitler. Namun di sisi lain, dia mengakui fakta-fakta akan pemuliaan dan penghormatan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kaum muslimin. Buktinya, sambutan yang baik dari pemerintah Saudi terhadap tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama (NU) yang sengaja datang untuk mengkritik pemerintah Saudi. Tidak sedikit pun ada usaha dari pemerintah Saudi untuk mencelakakan apalagi membunuh para delegasi yang jelas-jelas aqidah dan amaliah mereka berbeda dengan apa yang diyakini dan diamalkan oleh pemerintah Saudi, malah kritikan mereka dalam masalah amaliah mazhab diterima dengan baik oleh pemerintah Saudi. Dengan jujur[2] saudara Idahram berkata, “Utusan para ulama pesantren, alhamdulillah, berhasil dan diterima dengan baik oleh penguasa Saudi. Raja Saudi menjamin kebebasan amaliah dalam mazhab empat di Tanah Haram dan tidak ada penggusuran makam Nabi Muhammad Saw. (shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (Sejarah Berdarah…, hal. 138) Kebaikan pemerintah Saudi terhadap kaum muslimin dunia sudah tidak terhitung jumlahnya, termasuk Indonesia. Ratusan masjid dibangun oleh pemerintah maupun yayasan sosial yang mengumpulkan dana dari masyarakat Saudi serta santunan fakir miskin dan pembuatan sumur-sumur sebenarnya sudah sangat banyak. Hanya saja jarang diekspos oleh media. Pemerintah Saudi juga membuka cabang universitas Muhammad bin Su’ud di Jakarta untuk kaum muslimin Indonesia. Sampai saat ini, saya tidak tahu ada sekolah di Indonesia yang dibangun oleh pemerintah mana pun di dunia ini dengan menyewa dua buah gedung besar dan mewah untuk kaum muslimin di Indonesia secara gratis. Bukan hanya itu, para mahasiswa juga digaji, buku-buku diberikan secara gratis, asrama juga gratis. Para santri dan pengajar pesantren-pesantren NU juga banyak yang sekolah di sini, menikmati fasilitas yang diberikan pemerintah Saudi. Cabang universitas Muhammad bin Su’ud ini juga terdapat di negeri-negeri lain. Di dalam negeri Saudi sendiri, saat ini ada ribuan pelajar muslim dari seluruh dunia, termasuk anak-anak bangsa Indonesia, bahkan tidak sedikit santri-santri NU. Mereka belajar secara gratis plus digaji oleh pemerintah Saudi. Ketika terjadi Tsunami Aceh dan Sumatera Utara, negara Barat gembar-gembor di media massa mengumumkan sumbangan-sumbangan mereka, padahal nilainya juga tidak terlalu besar, itu pun ternyata sebagian besarnya berupa pinjaman. Diam-diam pemerintah Saudi hampir tidak terekspos oleh media (entah sengaja atau tidak?!), telah mengirim pesawat-pesawatnya ke Aceh yang mengangkut berbagai macam bantuan. Beberapa media ketika itu menginfokan,[3] “Rakyat dan pemerintah Arab Saudi menyumbang US$530 juta (sekitar Rp. 4,8 triliun) untuk korban gempa dan gelombang tsunami di Aceh dan Sumatra Utara. Semua sumbangan itu berbentuk hibah. Dari total hibah itu, sebesar US$280 juta berupa uang tunai yang terdiri dari sumbangan masyarakat sebesar US$30 juta. Sementara US$250 juta sisanya berbentuk makanan, obat-obatan, selimut, dan alat-alat kedokteran.” “Semua sumbangan itu merupakan hibah (pemberian), bukan utang yang harus dibayar. Sumbangan berupa hibah ini tentu saja lebih baik daripada sumbangan yang berupa utang. Karena utang ini di kemudian hari akan menjadi beban masyarakat Indonesia. Meskipun utang itu bersifat pinjaman lunak (soft loan), rakyat Indonesia tetap harus membayarnya,” ungkap salah seorang tokoh.” Adakah bantuan Saudi untuk Palestina? Benarkah tuduhan dusta lagi keji yang dihembuskan saudara Idahram bahwa Saudi bekerjasama dengan Inggris hingga Palestina berhasil dicaplok Yahudi? Jawabannya, kenyataan yang ada sangat bertolak belakang dengan tuduhan dusta tersebut. Ketika hizbiyyun masih sibuk berdemo untuk Palestina dan mengkritik fatwa ulama Saudi akan haramnya demo, pemerintah Saudi dan masyarakatnya telah mengumpulkan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk Palestina. Media menginfokan, “Raja Arab Saudi pada Senin mengumumkan sumbangan senilai satu miliar dolar AS bagi pembangunan kembali Gaza yang digempur secara ofensif oleh Yahudi selama beberapa pekan. ‘Atas nama rakyat Saudi, saya umumkan sumbangan sebesar 1 miliar dollar bagi program pembangunan kembali Gaza,’ kata Raja Saudi pada pembukaan konferensi tingkat tinggi Arab di Kuwait.” Ketika Amerika Serikat menekan Saudi untuk memboikot pemerintahan Palestina dengan tidak memberi bantuan, media memberitakan, “Arab Saudi menegaskan bahwa mereka akan tetap melanjutkan pemberian bantuan dana yang jumlahnya sekitar 15 juta dollar AS tiap bulannya untuk pemerintah Palestina.” Media lain menginfokan sumbangan seorang pengusaha, “Seorang pengusaha Saudi yang menolak untuk disebutkan identitasnya ini- pada hari Senin, sumbangkan 25 juta Riyal untuk membantu rakyat Gaza.” KEBAIKAN ULAMA SAUDI UNTUK KAUM MUSLIMIN DUNIA Bukan hanya pemerintahnya yang berusaha membantu Palestina, para ulama di Saudi pun mengeluarkan fatwa sebagai dorongan kepada masyarakat dan kaum muslimin di seluruh dunia untuk ikut membantu. Inilah fatwa ulama yang dituduh secara dusta dan keji oleh saudara Idahram, bahwa mereka telah bersekongkol dengan Yahudi untuk merebut Palestina. Fatwa Lembaga Resmi Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’ tentang Masalah Palestina “Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi dan rasul yang paling mulia, nabi kita Muhammad dan kepada keluarga beliau beserta para shahabatnya dan ummatnya yang setia mengikutinya sampai akhir zaman. Wa ba’da; Sesungguhnya Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’(Dewan Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia mengikuti (perkembangan yang terjadi) dengan penuh kegalauan dan kesedihan akan apa yang telah terjadi dan sedang terjadi yang menimpa saudara-saudara kita muslimin Palestina dan lebih khusus lagi di Jalur Gaza, dari angkara murka dan terbunuhnya anak-anak, kaum wanita dan orang-orang yang sudah renta, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kehormatan, rumah-rumah serta bangunan-bangunan yang dihancurkan dan pengusiran penduduk. Tidak diragukan lagi ini adalah kejahatan dan kedzaliman terhadap penduduk Palestina. Dan dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan ini wajib atas umat Islam berdiri satu barisan bersama saudara-saudara mereka di Palestina dan bahu membahu dengan mereka, ikut membela dan membantu mereka serta bersungguh-sungguh dalam menepis kedzaliman yang menimpa mereka dengan sebab dan sarana apa pun yang mungkin dilakukan sebagai wujud dari persaudaraan seagama dan seikatan iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”. (QS. Al Hujurat: 10) dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman, وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain”. (QS. At-Taubah: 71) dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya)”. (Muttafaqun ‘Alaihi) dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam juga bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur”.(Muttafaqun ‘Alaihi) dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam juga bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak mendzalimi saudaranya, tidak menipunya, tidak memperdayanya dan tidak meremehkannya”. (HR. Al-Imam Muslim) Dan pembelaan bentuknya umum mencakup banyak aspek sesuai kemampuan sambil tetap memperhatikan keadaan, apakah dalam bentuk benda atau suatu yang abstrak dan apakah dari awam muslimin berupa harta, makanan, obat-obatan, pakaian, dan yang lain sebagainya. Atau dari pihak pemerintah Arab dan negeri-negeri Islam dengan mempermudah sampainya bantuan-bantuan kepada mereka dan mengambil posisi dibelakang mereka dan membela kepentingan-kepentingan mereka di pertemuan-pertemuan, acara-acara, dan musyawarah-musyawarah antar negara dan dalam negeri. Semua itu termasuk ke dalam bekerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan di dalam firman-Nya: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ “Dan bekerjasamalah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan”. (QS. Al Ma’idah: 2) Dan termasuk dalam hal ini juga, menyampaikan nasihat kepada mereka dan menunjuki mereka kepada setiap kebaikan bagi mereka. Dan diantaranya yang paling besar, mendoakan mereka pada setiap waktu agar cobaan ini diangkat dari mereka dan agar bencana ini disingkap dari mereka dan mendoakan mereka agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memulihkan keadaan mereka dan membimbing amalan dan ucapan mereka. Dan sesungguhnya kami mewasiatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di Palestina untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya, sebagaimana kami mewasiatkan mereka agar bersatu di atas kebenaran dan meninggalkan perpecahan dan pertikaian, serta menutup celah bagi pihak musuh yang memanfaatkan kesempatan dan akan terus memanfaatkan (kondisi ini) dengan melakukan tindak kesewenang-wenangan dan pelecehan. Dan kami menganjurkan kepada semua saudara-saudara kami untuk menempuh sebab-sebab agar terangkatnya kesewenang-wenangan terhadap negeri mereka sambil tetap menjaga keikhlasan dalam berbuat karena Allah Ta’ala dan mencari keridha’an-Nya dan mengambil bantuan dengan kesabaran dan shalat dan musyawarah dengan para ulama dan orang-orang yang berakal dan bijak disetiap urusan mereka, karena itu semua potensial kepada taufik dan benarnya langkah. Sebagaimana kami juga mengajak kepada orang-orang yang berakal di setiap negeri dan masyarakat dunia seluruhnya untuk melihat kepada bencana ini dengan kacamata orang yang berakal dan sikap yang adil untuk memberikan kepada masyarakat Palestina hak-hak mereka dan mengangkat kedzaliman dari mereka agar mereka hidup dengan kehidupan yang mulia. Sekaligus kami juga berterima kasih kepada setiap pihak yang berlomba-lomba dalam membela dan membantu mereka dari negara-negara dan individu. Kami mohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi untuk menyingkap kesedihan dari ummat ini dan memuliakan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan memenangkan para wali-Nya dan menghinakan musuh-musuh-Nya dan menjadikan tipu daya mereka boomerang bagi mereka dan menjaga ummat Islam dari kejahata-kejahatan mereka, sesungguhnya Dialah Penolong kita dalam hal ini dan Dzat Yang Maha Berkuasa. Dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga serta shahabatnya dan ummatnya yang mengikuti beliau dengan baik sampai hari kiamat. Sumber: http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=282, diterjemahkan dari http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=152 Bantuan kepada kaum muslimin di berbagai penjuru dunia oleh ulama Saudi bukan sekedar fatwa belaka, namun benar-benar diamalkan oleh para ulama tersebut. Diantaranya dalam kisah-kisah berikut. Keteladanan Mufti Saudi Arabia dan Ketua Umum Rabithah Al-‘Alam Al-Islami di Masanya, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah Ali bin Abdullah Ad-Darbi menceritakan: “Ada satu kisah yang sangat berkesan bagiku, pernah suatu saat berangkatlah empat orang dari salah satu lembaga sosial di Kerajaan Saudi Arabia ke pedalaman Afrika untuk mengantarkan bantuan dari pemerintah negeri yang penuh kebaikan ini, Kerajaan Saudi Arabia. Setelah berjalan kaki selama empat jam dan merasa capek, mereka melewati seorang wanita tua yang tinggal di sebuah kemah dan mengucapkan salam kepadanya, lalu memberinya sebagian bantuan yang mereka bawa. Maka berkatalah sang wanita tua, ‘Dari mana asal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami dari Kerajaan Saudi Arabia’. Wanita tua itu lalu berkata, ‘Sampaikan salamku kepada Syaikh Bin Baz’. Mereka berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu, bagaimana Syaikh Bin Baz tahu tentang Anda di tempat terpencil seperti ini?’ Wanita tua menjawab, ‘Demi Allah, Syaikh Bin Baz mengirimkan untukku 1000 Riyal setiap bulan, setelah aku mengirimkan kepadanya surat permohonan bantuan, setelah aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala’.” Sumber: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/04/155/, dari Koran Al-Madinah, no. 13182 Salah seorang murid Syaikh bin Baz rahimahullah pernah bercerita, “Pada suatu malam, ketika Syaikh bin Baz rahimahullah sedang shalat tahajjud, tiba-tiba terdengar suara orang yang melompat ke rumahnya, maka Syaikh pun membangunkan anak-anaknya untuk melihat apa yang terjadi, dan beliau tetap melanjutkan shalatnya. Setelah beliau shalat, barulah anak-anaknya mengabari bahwa telah ditangkap seorang pencuri, dia adalah seorang pekerja dari Pakistan. Lalu Syaikh minta pencuri itu dihadirkan ke hadapannya. Pertama sekali yang beliau lakukan adalah membangunkan tukang masak dan memasakkan makanan untuknya, setelah si pencuri makan sampai kenyang, beliau memanggilnya dan berkata, ‘Kenapa engkau melakukan ini?’ Pencuri menjawab, ‘Ibuku di Pakistan saat ini sedang dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya 10.000 Riyal, sedang saya hanya memiliki 5.000 Riyal, maka saya hanya mau mencuri 5.000 Riyal.’ Maka Syaikh menghubungi salah seorang muridnya yang berasal dari Pakistan untuk mencari kebenaran akan perkataan si pencuri. Pada hari berikutnya, Syaikh telah mendapatkan kebenaran atas pengakuan si pencuri. Beliau pun memberikan kepadanya bantuan sebesar 5.000 Riyal dan menambah lagi 5.000 Riyal dengan anggapan, kemungkinan dia membutuhkannya, maka total bantuan Syaikh kepadanya sebesar 10.000 Riyal. Singkat cerita, pencuri ini kemudian menjadi murid Syaikh dan selalu menyertai beliau sampai wafatnya.” Disarikan dari ceramah, “Maqaathi’ Muatstsiroh; Ibnu Baz rahimahullah Ma’a As-Sariq.” Abdullah bin Muhammad Al-Mu’taz menceritakan: Asy-Syaikh Muhammad Hamid, Ketua Paguyuban Ashabul Yaman di negeri Eretria berkisah, “Saya datang ke Riyadh di malam hari yang dingin dalam keadaan tidak punya uang untuk menyewa hotel. Saya kemudian berpikir untuk datang ke rumah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Saat itu waktu menunjukkan pukul 03.00 pagi. Awalnya saya ragu, namun akhirnya saya putuskan untuk pergi ke rumah beliau. Saya tiba di rumah beliau yang sederhana dan bertemu dengan seorang yang tidur di pintu pagar. Setelah terbangun, ia membukakan pintu untukku. Saya memberi salam padanya dengan pelan sekali supaya tidak ada orang lain yang mendengarnya karena hari begitu larut. Beberapa saat kemudian aku melihat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berjalan menuruni tangga sambil membawa semangkuk makanan. Beliau mengucapkan salam dan memberikan makanan itu kepada saya. Beliau berkata, ‘Saya mendengar suara anda kemudian saya ambil makanan ini karena saya berpikir anda belum makan malam ini. “Demi Allah, saya tidak bisa tidur malam itu, menangis karena telah mendapat perlakuan yang demikian baik.” Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, hal. 27-28. Subhanallah, inilah akhlak para ulama yang sangat dibenci oleh para pelaku syirik dan bid’ah. Inilah pemerintah yang dituduh ganas dan sadis oleh mereka yang membenci dakwah tauhid dan sunnah. Masih banyak lagi kebaikan pemerintah Saudi dan ulamanya untuk kaum muslimin dunia yang tidak mungkin kami ceritakan semuanya di sini. فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46) YANG PERLU DICERMATI Pembaca yang budiman, yang perlu dicermati dari buku Sejarah Berdarahini, mengapa pada bagian awal buku dimulai dengan menjelek-jelekkan Salafi, tidak peduli walau harus berdusta?! Jawabannya ada di akhir buku tersebut, yaitu agar kaum muslimin berpaling dari manhaj (metode beragama) Salaf, yaitu memahami agama yang mulia ini berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman Salaf. Pada akhir bukunya, saudara Idahram membuat satu bab khusus untuk menolak manhaj Salaf dengan judul “Kerancuan Konsep & Manhaj Salafi Wahabi”yang insya Allah Ta’ala akan kami jawab dengan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah,ijma’ sahabat, penjelasan ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya. Jadi masalahnya, ada pada fanatisme terhadap kebid’ahan yang sangat bertentangan dengan jalan Salaf, jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Penulisnya tidak rela kalau umat Islam meninggalkan bid’ahdan mengikuti manhaj Salaf. Maka dijadikanlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sebagai kambing hitamnya, sebab tidak mungkin dia berani memcaci maki Salaf atau memperbanyak dusta atas nama Salaf dan memfitnah mereka. Oleh karena itu sebelum jauh kita melangkah, perlu kami tegaskan, Salafi adalah pengikut Salaf, yaitu Rasulullah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Bukan pengikut Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Hanyalah kita mengikuti Syaikh ketika beliau mengikuti manhaj Salaf. Jika beliau tersalah dalam satu masalah dan bertentangan dengan manhaj Salaf, maka kita tidak mengikuti pendapat beliau. Sehingga, “fakta-fakta” sejarah yang berisi fitnah dan dusta itu, andaikan benar sekalipun, tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap Salafi dan kewajiban mengikuti manhaj Salaf. Artinya, andaikan tuduhan-tuduhan keji yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah itu benar adanya, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk menjelek-jelekkan Salafi, sebab Salafi telah ada jauh sebelum berdirinya Kerajaan Saudi Arabia dan Salafi tidak hanya di Saudi saja. Kalau kemudian ada yang mengaku-ngaku Salafi lalu ternyata dia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan manhaj Salaf itu sendiri, tentunya tidak bisa kita menyalahkan manhaj yang mulia ini, sebagaimana kita tidak bisa menyalahkan semua Salafi di dunia ini. Tetapi alhamdulilllah, tuduhan-tuduhan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah hanyalah kedustaan dan kesalahpahaman belaka, maka patut kalau kami membela seorang ulama yang terzalimi, meskipun tujuan utama kami dalam buku ini bukanlah sekedar membela beliau melainkan untuk meluruskan pemahaman yang menyimpang dari manhaj Salaf dan mengajak umat Islam secara umum, khususnya penulis buku Sejarah Berdarah dan kelompoknya untuk kembali kepada kebenaran, yaitu kepada manhaj Salaf yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan untuk diikuti. Footnote: [1] Kita tidak menutup mata, layaknya manusia biasa, pemerintah dan ulama Saudi tentunya memiliki kesalahan dan kekhilafan. Akan tetapi, orang yang berbudi tentu tidak mudah melupakan kebaikan saudaranya,sedangkan orang yang tidak berbudi, alias tidak tahu balas budi, sulit bagi mereka mengingat kebaikan orang lain, prasangka buruk mereka telah menutupi semua kebaikan yang ada pada saudaranya, seperti kata penyair, وعين الرضا عن كل عيب كليلة كما أن عين السخط تبدي المساويا “Pandangan simpati menutupi segala cela, Pandangan benci menampakkan segala cacat.” [2] Kali ini dia jujur, walau sebenarnya dia banyak berdusta, sebagaimana yang telah kita buktikan sebelumnya dan akan datang bukti-bukti kedustaannya yang lain, hadaahullah. [3] Sengaja kami tidak menyebutkan nama-nama medianya di sini karena alasansyar’i, yaitu adanya pelanggaran-pelanggaran syari’at yang ada dalam media-media tersebut, sehingga kami khawatir ikut ta’awun mengiklankan keberadaan media tersebut. Alasan lain, dalam masalah ini penyebutan nama media tersebut bukan suatu hal yang darurat, terlebih berita-berita ini sangat mudah disearch di internet. Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. kedua. Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.

darurat Wahai Ummat Nabi Muhammad SAW!!! ‏​‏​

darurat Wahai Ummat Nabi Muhammad SAW!!! ‏​‏​ Negara Iran (Syiah yang mengkafirkan para khulafaurrasyidin dan istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan yang mengatakan kalau al-Qur`an ini palsu) protes kepada google atas penamaannya terhadap Teluk Arab dengan namanya (yang asli) ini. Iran menuntut agar Google menggunakan nama Teluk Persia (karena kebencian Iran/Syiah kepada Arab, termasuk kalau nanti Imam mahdi versi mereka datang yang akan dilakukan pertama adalah menghukum sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar radhiyallahu a’nhuma –setelah dibangkitkan dari kuburnya menurut mereka- lalu membantai bangsa Arab. Google akhirnya setuju melakukan voting untuk memilih antara nama teluk arab dan teluk Persia. Jika yang menyuarakan teluk Persia menang maka nama teluk arab akan dihapus diganti dengan teluk Persia. Hasil sementara sangat mengejutkan. Orang Islam yang tahu dan yang peduli sangat sedikit : Sementara: red Darurat Wahai Ummat Nabi Muhammad SAW!!! ‏​‏​Persian Gulf خليج فارس – 60.7% blue Darurat Wahai Ummat Nabi Muhammad SAW!!! ‏​‏​Arabian Gulf الخليج العربي- 39.3% Total votes: 2391158 Saudaraku, berbuatlah selagi bisa. Caranya: buka halaman: http://www.persianorarabiangulf.com/index.php lalu tekan di lingkaran kecil/kotak kecil warna biru yang bertuliskan blue Darurat Wahai Ummat Nabi Muhammad SAW!!! ‏​‏​Arabian Gulf الخليج العربي Lalu tekan vote Jangan keliru!!! Lakukan sebelum waktunya habis. Sebarkan ke email teman!! Untuk mengetahui batilnya pengakuan syiah, baca artikel berikut ini : http://qiblati.com/majusi-vs-muslim.html dan silakan simak makalah berjudul Raibnya Sebuah Kerajaan Arab di majalah Qiblati edisi 10 bulan depan.

Dialog Ulama Wahhabi VS Anak Bau Kencur?!! (bag. 2)

Dialog Ulama Wahhabi VS Anak Bau Kencur?!! (bag. 2) Abu Hamzah (bag. 2) Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, Allah memberi kesempatan kepada saya untuk merampungkan bagian kedua ini. Kita lanjutkan dengan bagian Kelima: Saudara saya yang disebut -atau yang menamakan dirinya- anak bau kencur itu menceritakan bahwa Abu Hamzah megucapkan: “Bid’ah dalam beribadah adalah membuat cara-cara baru dalam ibadah yang belum pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw, seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi, berdoa dengan doa-doa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan sahabat dan berdzikir secara keras dan bersama-sama sehabis shalat berjamaah.” Mendengar pernyataan ini, seorang peserta yang masih belum selesai S1 di STAIN Jember bertanya kepada Abu Hamzah, “Kalau bapak mendefinisikan bid’ah seperti itu, kami punya tiga pertanyaan berkaitan dengan konsep bid’ah yang Anda sampaikan. Pertama, bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah? *** Saya katakan: Secara umum kutipan ini benar, tetapi perlu saya jelaskan bahwa selama saya berdakwah tidak pernah saya langsung menjadikan dzikir dengan suara keras sehabis shalat berjama’ah itu sebagai contoh bid’ah –meskipun memang demikian pendapat yang rajih, jika itu dengan cara jama’i dan terus menerus-. Saya dalam hal ini senantiasa menirukan ucapan imam Syafi’i rahimahullah bahwa yang mustahab atau sunnah setelah shalat berjama’ah adalah dzikir sendiri-sendiri secara sirri, kecuali jika imam ingin mengajarkan atau memberitahukan kepada jama’ah apa yang dia baca maka ia mengeraskan hingga mereka faham lalu kembali sirri. Perhatikan ucapan Imam Syafi’i berikut terutama yang warna biru dan bergaris bawah (berikut terjemahannya): الأم – (ج 1 / ص 150) باب كلام الامام وجلوسه بعد السلام …… عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضى تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا …. …..عن عباس قال كنت: أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير ……..عن أبى الزبير أنه سمع عبد الله بن الزبير يقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الاعلى ” لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شئ قدير ولا حول ولا قوة إلا بالله ولا نعبد إلا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون “ (قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال: وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر فإن الله عزوجل يقول ” ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها ” يعنى والله تعالى أعلم الدعاء ولا تجهر ترفع ولا تخافت حتى لا تسمع نفسك وأحسب ما روى ابن الزبير من تهليل النبي صلى الله عليه وسلم وما روى ابن عباس من تكبيره كما رويناه (قال الشافعي) وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك لان عامة الروايات التى كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم ] الأم – (ج 1 / ص 151) [ تهليل ولا تكبير وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصفت ويذكر انصرافه بلا ذكر وذكرت أم سلمة مكثه ولم يذكر جهرا وأحسبه لم يكث إلا ليذكر ذكرا غير جهر فإن قال قائل ومثل ماذا؟ قلت مثل أنه صلى على المنبر يكون قيامه وركوعه عليه وتقهقر حتى يسجد على الارض وأكثر عمره لم يصل عليه ولكنه فيما أرى أحب أن يعلم من لم يكن يراه ممن بعد عنه كيف القيام والركوع والرفع يعلمهم أن في ذلك كله سعة واستحب أن يذكر الامام الله شيئا في مجلسه قدر ما يتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطول من ذلك فلا شئ عليه وللمأموم أن ينصرف إذا قضى الامام السلام قبل قيام الامام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصراف الامام أو معه أحب إلى له وأستحب للمصلى منفردا وللمأموم أن يطيل الذكر بعد الصلاة ويكثر الدعاء رجاء الاجابة بعد المكتوبة. "….imam mana saja yang berdzikir kepada Allah dengan apa yang telah saya jelaskan, dengan suara keras atau pelan, atau dengan lainnya maka baik. Pilihan (yang baik) untuk imam dan makmum adalah berdzikir kepada Allah sehabis shalat dan menyamarkan dzikir, kecuali jika seorang imam yang wajib (para jama'ah) belajar darinya maka ia mengeraskan hingga yakin bahwa jama'ah telah belajar darinya kemudian (kembali) menyamarkan. …..Saya kira beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan sedikit agar manusia mempelajari hal itu…… saya kira beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak duduk kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak keras….Saya menganjurkan kepada orang yang shalat, baik sendirian maupun makmum agar memperpanjang dzikir sehabis shalat dan memperbanyak doa dengan harapan diijabahi setelah shalat fardhu." (Al-Umm, 1/150) Baiklah, sekarang kita bahas dulu pengertian dan pembagaian bid'ah secara singkat, agar kita bisa memahami masalah ini dengan benar: Bid'ah secara bahasa adalah membuat hal baru tanpa ada contoh sebelumnya. Hal baru ini ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyiah (buruk). Persis sebagaimana sunnah, secara bahasa sunnah adalah thariqah dan sirah (jalan atau cara yang ditempuh), maka secara bahasa, ada sunnah hasanah dan ada sunnah sayyiah, ada sunnah Nabi dan ada sunnah selain Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Namun secara istilah yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan yang dimaksud dengan bid'ah adalah hal baru yang menyalahi Sunnah Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu secara istilah, setiap sunnah itu hasanah dan setiap bid'ah itu sayyiah. Dalam hal ini Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallambersabda: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي ،عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ "Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu hal-hal baru karena sesungguhnya setiap hal baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di neraka." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih) [Abu Dawud, no. 4607, Tirmidzi no. 2676] Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i menggunakan kata sunnah secara bahasa -saat beliau mengungkapkan sikapnya kepada sebagian ahli bid’ah (ahli ahwa`)- beliau berkata: سُنَّتِي فِيهِ سُنَّةُ عُمَرَ فِي صَبِيغٍ “Sunnahku (caraku) terhadap orang itu adalah sunnah Umar (cara Umar) terhadap Shabigh (yaitu dipukul dengan pelepah kurma dan diarak di kota serta diasingkan).” Al-Imam al-Syafi’i juga menerangkan pembagian bid’ah menurut bahasa sebagai berikut: اَلْمُحْدَثَاتُ من الأمور ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أو أثراً أَوْ إِجْمَاعًا فهذه بِدْعَةُ ضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ من الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. .قد قال عمر في قيام رمضان: “نعمت البدعة هذه “.)) (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩). “Muhdatsat (hal-hal baru) dalam perkara-perkara itu ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru diadakan dari kebaikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, Sunnah, atsar dan Ijma’) maka ia adalah muhdatsah yang tidak tercela. Umar ra telah berkata tentang qiyam Ramadhan: sebaik-baik bid’ah adalah ini” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469). *** Membuat hal baru ini ada dua bidang: Pertama: Bidang dunia (hal yang biasa diperlukan dan bermanfaat dalam hidup di dunia ini) seperti alat-alat transportasi, alat-alat komunikasi modern dst. Maka ini hukum asalnya adalah mubah (tidak termasuk dalam istilah bid’ah). Diantara dasarnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat Hammad ibn Salamah dari Hadits Anas Radhiallahu ‘Anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ‏ “Kalian lebih mengerti tentang urusan dunia kalian.” Juga riwayat Abu Kamil al-Jahdari dari hadits Thalhah dikeluarkan oleh al- Bazzar dengan lafazh: أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِمَا يُصْلِحُكُمْ فِي دُنْيَاكُمْ “Kalian lebih mengerti tentang apa yang memperbaiki dalam urusan dunia kalian.” Oleh karena itu tidak tepat ucapan orang yang mengatakan bahwa “kalau Anda mengatakan semua bid’ah itu sesat maka jangan pakai motor, komputer, HP, kereta api, kaca mata dan lain-lain karena itu adalah bid’ah. Jika Anda memakainya itu berarti Anda mengakui bahwa tidak semua bid’ah itu jelek.” Juga tidak tepat ucapan di sebagian situs pembela bid’ah yang menolak (atau menakwil) hadits “kullu bid’atin dhalalah” dengan mengatakan: “Terus terang, Muka Anda juga bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi Saw. Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi Saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti Anda. Semua itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat!” Ucapan senada begitu sering kita dengar dari seorang guru atau alim ketika menerangkan tentang bid’ah. Sungguh naïf! Itu bukan bid’ah yang tercela, tetapi jika ada yang ngeyel menyatakan itu bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa! Sekali lagi secara bahasa! Bukan bid’ah dalam istilah, yang dihukumi oleh baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “setiap yang bid’ah itu adalah sesat!” Kalau kita pahami hal ini secara benar, niscaya tidak akan keluar dari lisan kita ucapan dan pernyataan yang menggelikan seputar bid’ah!! Kedua: Bidang diin (agama, yang menjadi tugas dan urusan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Maka membuat perkara baru dalam hal ini hukumnya haram. Dasarnya antara lain, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdari Ummul Mukminin Radhiallahu ‘Anha, yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: « مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ » وَفِي لَفْظٍ (( مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ )) “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak’.” Dan dalam riwayat lain milik Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada dasar agama kami atasnya maka ia tertolak.” Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal-Hikam mengatakan: sebagian lafazhnya adalah: مَنْ أَحْدَثَ فِي دِينِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam agama kami ini apa yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak’.” Itulah redaksi yang dikeluarkan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad ibn Sulaiman ibn Habib al-Asadi al-Misshishi al-Baghdadi yang dikenal dengan Luwain (w. 245 H) dalam kitabnya yang dikenal dengan Juz` min Hadits Luwain al-Misshishi no. 69, yang kemudian disebutkan oleh Imam al-Baghawi dalam Syarah al-Sunnah dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (3 tempat), Syaikh ‘Adhuddin al-Iyji dalam al-Mawaqif, Syaikh Abdul Muhsin al-Badr dalam al-Hats ‘Ala Ittiba’ as-sunnah wat-Tahdzir minal Bida’ wa Bayan Khathariha, Syaikh Abdullah ibn Abdul Aziz at-Tuwaijiri dalam Tesisnya al-Bida’ al-Hawliyyah. Bid’ah dalam agama ini ada 2 (bisa juga dibagi berdasarkan sudut pandang lain): Bid’ah qawliyyah I’tiqadiyyah: seperti makalah-makalah (ucapan-ucapan) kelompok Jahmiyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Shufiyyah Ghulat (ekstrim), Quburiyyah, Musyabbihah, Mujassimah, Mu’atthilah, ‘Aqlaniyyah, Bathiniyyah, JIL dan firqah-firqah sesat lainnya, beserta keyakinan mereka. Bid’ah keyakinan hari-hari naas, termasuk bid’ah tidak mau menjenguk orang sakit di hari Sabtu karena keyakinan hari naas. Bid’ah ibadah: seperti bertaqarrub (mendekat) kepada Allah dengan ibadah yang tidak pernah disyari’atkan. Hal ini ada banyak bentuk: Bid’ah pada asal ibadah itu sendiri, seperti: Membuat shalat baru yang tidak disyariatkan, seperti shalat Raghaib di Jum’at pertama bulan Rajab, Shalat Alfiyyah malam Nishfu Sya’ban, shalat Kifayah, shalat Asyura`, shalat Syukur atas kematian Aisyah yang diajarkan Yasir Habib ar-rafidhi az-Zindiq al-la’iin, Shalat al-Khamis setelah shalat Jum’at di akhir Ramadhan dengan keyakinan bahwa itu bisa menebus semua shalat selama setahun lalu atau selama seumur yang ditinggalkan. Membuat puasa baru yang tidak disyariatkan seperti puasa mutih, puasa pati geni, puasa ngebleng, puasa awal tahun dan akhir tahun dlsb. Membuat hari raya baru yang tidak disyariatkan seperti menyalakan api unggun atau lilin setiap malam nishfu sya’ban, memakai pacar, celak dan membuat makanan khusus di hari Asyura`, merayakan hari raya maulid Nabi Isa ‘Alaihi Sallam, dll). Bertaqarrub dengan sujud saja selain sujud shalat, sujud syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Begitu pula taqarrub dengan ruku’ saja. Mencium kuburan, mengetuk-ngetuk bagungan kuburan, atau mengusap-usap batu nisan atau pagar kuburan, atau sujud pada kuburan, saat ziarah kubur para wali. Bid’ah tambahan dalam ibadah, seperti menambah satu rakaat pada shalat fardhu, tambahan syahadat (asyhadu anna ‘aliyyan waliyyullah/hujjatullah) dalam adzan orang syiah, Tatswib (ucapan as-Shalatu Khairun minannaum) pada adzan selain subuh, menambah shalawat dalam shalat dengan ucapan: warham muhammadan wa ali Muhahammad kama rahimta ‘ala ibrahim, menambah basuhan keempat dalam wudhu` secara sengaja, dan mengusap leher dalam wudhu’. Bid’ah dalam sifat ibadah yang disyariatkan, seperti dzikir syar’i secara berjamaah dan dengan lagu, membebani diri dalam ibadah hingga keluar dari batasan sunnah, Berdzikir (misalnya tahlil atau istighfar) dengan keras dan jama’i saat mengiringi jenazah, membaca al-Quran dengan lagu sampai menyalahi tajwid dan mengaburkan makna. Imam Mengucapkan ta’awwudz dalam shalat dengan keras. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu ibadah yang tidak dikhususkan oleh Syara’ seperti mengkhususkan nishfu sya’ban dengan puasa dan qiyamullail, meskipun puasa dan qiyamullail itu hukum asalnya disyariatkan, akan tetapi pengkhususannya pada malam itu perlu dalil. Dengan demikian bid’ah tercela itu adalah: (1) hal baru (2) dalam agama (aqidah maupun ibadah) (3) yang menyalahi sunnah; sunnah Nabi dan Sunnah sahabat. Keenam : soal pertama dari saudaraku yang “bau kencur” (andaikan saja saya tahu namanya sehingga saya bisa memanggil dan mendoakannya): “Bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah? Jawab: Yang saya katakan adalah “seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi.” Sementara ibnu Mas’ud, Imam Syafi’i bukan ulama sufi, tetapi ulama ahlussunnah, jadi masalahnya jelas berbeda. Shalawat sufi banyak yang bermasalah dari sisi kandungan dan keyakinan tentangnya, seperti shalawat Wahidiyyah, dan shalawat Tijaniyyah, shalawat Mirghaniyyah Khatmiyyah. Juga shalawat-shalawat yang lain seperti yang ada dalam kitab Al-Wasîlatu `l-Hariyyah Fî `s-Shalawâti ‘Âlâ Khairi `l-Bariyyah tulisan Syaîkh Ahmad Qusyairi ibn Shiddîq (Pasuruan Jatim, wafat 22 Syawal 1392 H) yang berisikan 80 Shalawat. Pada shalawat nomor 5 ia berkata: “Ini Shalawat Imâm Al-Ghazali dan Al-Ghauts Al-Jilanî. An-Nabhani menukil dari As-Sya’rani dari As-Syauni melalui mimpi bahwa membaca shalawat ini sekali sama dengan 10 ribu (shalawat biasa). Pada shalawat nomor 18 dia berkomentar: Syaîkh Al-Dirabiy dan lainnya menyebutkan bahwa Syaîkh ‘Abdu `l-Qâdir Al-Jilanî mendapatkannya tertulis pada batu dan bahwasanya ia sama dengan 50 ribu shalawat, dan dia bermimpi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya bahwa shalawat itu sama dengan 70 ribu shalawat. Pada shalawat nomor 29 dia berkomentar: Dalam Kunuzu `l-Asrâr disebutkan, barangsiapa menyebutnya seribu kali (1000 x) maka Allâh melapangkan kesulitannya dan meluluskan hajatnya apapun hajat itu. Begitu pula orang yang menyebut nama Allâh As-Sarî’ (Yang Maha Cepat) seribu kali (1000 x) dengan mengatakan, “Yâ Sarî”. Pada shalawat nomor 30 dia berkata: shalawat yang diajarkan langsung (musyafahatan) oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat) kepada Sayyid ‘Abdullâh Al-’Ilmi. Ini telah diuji coba (mujarab) untuk setiap hajat. Pada shalawat nomor 39 dia berkomentar: Ini Shalawat Al-Fâtih milik Al-Ârif Al-Kabîr Sayyidi Muhammad Al-Bakri. As-Shawi dan lainnya mengutip dari pengarangnya bahwa barangsiapa bershalawat dengan shalawat ini sekali seumur hidup, maka tidak akan masuk neraka. Abû `l-’Abbâs At-Tîjânî telah berkata sebagaimana dalam Jawâhiru `l-Ma’ânî bahwa shalawat ini turun kepada Muhammad Al-Bakri dalam satu shahîfah (lembaran) dari Allâh. Sebagian berkata: membacanya sekali sama dengan 10.000 shalawat biasa. Ada yang mengatakan 600.000. Barangsiapa merutinkan selama 40 hari maka diampuni dari semua dosa. Membacanya seribu kali dalam malam Kamis atau Jum’at atau Senin maka akan berkumpul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Pada shalawat ke 41 dia berkomentar: Shalawat milik Sayyidi Syaîkh Mushthafa Al-Bakri, dikutip dari Lauhu `l- mahfûzh. Membaca sekali sama dengan 70.000 Dalâ`il (Khairaat). Pada shalawat nomor 70 yang di dalamnya terdapat kata-kata: “Ya Allâh bershalawatlah kepada sayyid kami Muhammad hingga tidak tersisa sedikitpun dari shalawat-Mu!!” Dia berkata; “Dibaca tiap hari, minimal 4 kali untuk menghilangkan kesusahan dan menolak balak. Bahkan ia mujarab (telah diuji coba) untuk segala sesuatu dengan izin Dzat Yang Maha Kuasa. Pada shalawat nomor 72 dia berkata: Shalawat disebutkan oleh Syaîkh Muhammad Shâlih Ar-Rais dalam Fatwanya, dia menyebutkan sebuah hadîts dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu bahwa barangsiapa membacanya pagi sore maka ia telah melelahkan 70 malaikat pencatat (pahala) selama seribu pagi (seribu hari), dan tidak tersisa sedikit pun dari hak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan ia telah tunaikan, dan diampuni untuknya dan kedua orang tuanya dan dikumpulkan bersama keluarga Muhammad…”[1] Selain itu shalawat bid’ah banyak didapati di kitab Dalail al-Khairat wa Syawariq al-Anwar Fi Dzikr al-Shalati ‘ala an-nabiyyil Mukhtar, karya syaikh sufi Abu Abdillah Muhammad ibn Sulaiman al-Jazuli as-Syamlani (w. 870 H). Jami’ al-Shalawat wa Majma’ as-Sa’adat fi as-shalat ‘ala Sayyidil Sadat, karya Syaikh Sufi yang kesohor Yusuf ibn Ismail al-Nabhani (w. 1350 H), Subhanallah! Anda bisa bayangkan betapa pengaruh teori kasyaf dan mimpi ini begitu kuat menancap dalam hati banyak kaum muslimin sehingga banyak menimbulkan keyakinan-keyakinan baru yang tidak dikenal sebelumnya, dengan alasan bahwa ajaran atau keyakinan itu ia dapat langsung dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala atau langsung diajari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bisa kita bayangkan seandainya setiap orang mengaku diajari langsung oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau mendapat ilham tentang satu amalan. Sangat mungkin atas dasar teori ini pula, begitu banyak sekte dan ajaran menyimpang di masa kita sekarang ini, yang mematikan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.Nah, shalawat-shalawat inilah yang saya maksudkan bukan shalawat ibnu Mas’ud, dan Imam Syafi’i, dll. Shalawat itu ibadah yang bersifat doa, boleh dengan redaksi sendiri untuk hajatnya, asal memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ikhlas dalam bershalawat berarti : Hanya mengharapkan ridha Allah Ta’ala dan pahala dari-Nya. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas maupun syariat. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighatsah kepada selain Allah Ta’ala, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allah kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia yang tidak ma’shum, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih-lebih shalawat shufiyyah. Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksudnya : Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang paling utama. Bila menggunakan susunan shalawat dari selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disyaratkan tidak mengandung unsur kesyirikan maupun ghuluw (sanjungan yang berlebihan) kepada beliau. Bershalawat pada momen-momen yang beliau syariatkan, dan dengan bilangan yang sudah beliau tentukan. [5] Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala dalam QS.al-Ahzab/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas. Shalawat yang digubah oleh sahabat Ibn Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ بَيَانٍ حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي فَاخِتَةَ عَنْ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَإِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسِنُوا الصَّلَاةَ عَلَيْهِ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ لَعَلَّ ذَلِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ قَالَ فَقَالُوا لَهُ فَعَلِّمْنَا، قَالَ: قُولُوا اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِينَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّينَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُولِ الرَّحْمَةِ اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا يَغْبِطُهُ بِهِ الْأَوَّلُونَ وَالْآخِرُونَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ “Abdullah bin Mas’ud berkata: Apabila kamu semua bersolawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka baguskanlah shalawat kepadanya, karena kamu tidak tahu, mungkin saja shalawat kamu itu diberitahukan (disampaikan) kepada beliau. Lalu mereka bertanya: kalau begitu ajarkanlah kami (cara bersolawat yang bagus kepada beliau)! Lalu beliau (Abdullah bin Mas’ud) menjawab: katakan, Ya Allah jadikanlah segala solawat-Mu, rahmat-Mu, dan berkah-Mu, kepada Sayyid para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, penutup para nabi, yaitu Muhammad Hamba dan Rasul-MU, pemimpin kebaikan, dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah beliau maqam terpuji yang akan diiri oleh orang-orang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian. Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad, dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau memberikan shalwat pada Ibrahim, dan keluarga Ibrahum sesungguhnya Engkau maha terpuji dan Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Agung.” (HR. Ibn Majah no 906, dhaif. Didhaifkan oleh Al-Albani dalam takhrij kitab Fadhlusshalah ‘alan Nabi milik Ismail al-Qadli no. 61; oleh Husain Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la 9/175; Al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid dan al-Bushiri dalam Mishbah al-Zujajah mengatakan: “para perawinya tsiqat kecuali al-Mas’udi, diakhir usianya pikiranya berubah kacau, tidak membedakan haditsnya yang pertama dari yang akhir, maka layak ditinggalkan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hibban.” Ia memiliki syahid (saksi) hadits lain riwayat dari Ibn Umar dalam Musnad Ahmad ibn Manii’, sehingga ada yang menghasankan) Shalawat dan dzikir dari sahabat bisa diamalkan Anda masih ingat kaedah yang dibuat oleh Imam Syafi’i rahimahullah: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أو أثراً أَوْ إِجْمَاعًا فهذه بِدْعَةُ ضَّلالَةِ “Apa saja yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau atsar atau Ijma’, maka ini adalah bid’ah dhalalah (tersesat).” Oleh karena itu atsar dari sahabat termasuk sunnah, bukan bid’ah. Dalam hal ini ahlussunnah memiliki kaedah: Syaikh Zakariya ibn Ghulam al-Bakistani dalam kitab Ahkam al-Adzkar halaman 16, kaedah ke 14, mengatakan: “Dzikir yang terikat dengan waktu dan tempat yang datang dari sahabat bisa diamalkan. Dzikir-dzikir yang datang dari setelah mereka yaitu tabi’in dan atba’ tabi’in maka tidak diamalkan. Karena para ulama menyebutkan bahwa apa yang datang dari para sahabat dari hal yang tidak ada ruang bagi pendapat dan ijtihad di dalamnya maka hukumnya adalah marfu’. Dzikir adalah termasuk ibadah yang tidak ada ruang bagi pendapat, sehingga apa yang datang dari sahabat dari dzikir hukumnya dianggap marfu’ (termasuk ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan menjadi hujjah. Adapun yang datang dari para tabi’in maka tidak dihukumi marfu’ tetapi ijtihad dari yang mengucapkannya dan tidak disyariatkan mengamalkannya, karena ia bukan hujjah.” Shalawat Imam Syafi’i Imam Syafi’I berijtihad. Menulis shalawat di mukaddimah kitabnya ar-Risalah, (1/16) فصلى الله على نبينا كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون وصلى عليه في الاولين والآخرين أفضل وأكثر وأزكى ما صلى على أحد من خلقه وزكانا وإياكم بالصلاة عليه أفضل ما زكى أحد من أمته بصلاته عليه والسلام عليه ورحمة الله وبركاته وجزاه الله عنا أفضل ما جزى مرسلا عن من أخرجت للناس دائنين بدينه الذي ارتضى واصطفى به ملائكته ومن أنعم عليه من خلقه فلم تمس بنا نعمة ظهرت ولا بطنت نلنا بها حظا في دين أو دفع بها عنا مكروه فيهما وفي واحد منهما إلا ومحمد صلى الله عليه سببها القائد إلى خيرها والهادي إلى رشدها الذائد عن الهلكة وموارد السوء في خلاف الرشد المنبه للاسباب التي تورد الهلكة القائم بالنصيحة في الارشاد والانذار فيها فصلى الله على محمد وعلى آل محمد كما صلى على إبراهيم وآل إبراهيم إنه حميد مجيد Apa yang dilakukan oleh Imam syafi’i sah dalam agama Islam, tidak ada larangan sama sekali. Siapa pun dari kita boleh menulis di mukaddimah khutbah atau kitab tahmid dan shalawat dari rangkaian sendiri asal isinya tidak bertentangan dengan syara’. Kaitan mujtahid dengan bid’ah Orang yang betul-betul mujtahid tidak akan melakukan atau mengatakan sesuatu yang bid’ah kecuali hanya faltah (ketergelinciran yang tidak disengaja), kita sebut demikian karena mujtahid tidak bermaksud mengikuti mutasyabihat untuk mencari fitnah dan mencari takwil kitab, artinya tidak mengikuti hawa nafsunya, dan tidak menjadikannya sebagai tumpuan. Buktinya, jika kebenaran tampak nyata baginya maka ia tunduk dan mengakuinya. Oleh karena itu seandainya shalawat yang ditulis oleh Imam Syafi’i itu –misalnya- termasuk bid’ah maka kita tetap tidak menyebut beliau sebagai ahli bid’ah, apalagi telah terbukti bahwa hal itu boleh-boleh saja dalam syariat ini. (Baca macam-macam orang yang dikaitkan dengan bid’ah dalam al-I’tisham). Shalawat (atau syari’at secara umum) tidak diambil dari mimpi Sepakat ahlussunnah bahwa mimpi bukan sumber syariat, dan bahwa mengambil syariat dari mimpi termasuk manhaj bid’ah, khususnya shufiyyah quburiyyah. Contoh, disebutkan bahwa Abul Mawahib al-Syadzili berkata: Saya bermimpi melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu beliau berkata kepada saya: jika kamu punya hajat dan kamu ingin memenuhinya maka bernadzarlah untuk Nafisah al-Thahirah[2], meskipun hanya satu fils, sesungguhnya hajatmu pasti terkabul.” (Thabaqat al-Sya’rani, 2/74) Coba perhatikan mimpi syaithani ini mengajak orang untuk berbuat syirik, merusak tauhid yang diperjuangkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama 23 tahun dalam masa kenabiannya. Kembali kepada masalah shalawat. Diceritakan dalam kitab Jala’ al-Afham page 230, dan al-Hafiz al-Sakhawi dalam kitabnya al-Qaul al-Badi’ page 254: وقال عبد الله بن عبد الحكم: “رأيت الشافعي في النوم، فقلت. ما فعل الله بك؟ قال: رحمني وغفر لي وزفني إلى الجنة كما تزف العروس, ونثر علي كما ينثر على العروس، فقلت: بم بلغت هذه الحال؟ فقال لي قائل: يقول لك بما في كتاب الرسالة من الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم”. قلت: فكيف ذلك؟ قال: وصلى الله على محمد عدد ما ذكره الذاكرون، وعدد ما غفل عن ذكره الغافلون. قال: فلما أصبحت نظرت في الرسالة فوجدت الأمر كما رأيت: النبي صلى الله عليه وسلم” Abdullah bin al-Hakam berkata: Aku bermimpi bertemu al-Imam al-Syafi’i setelah beliau meninggal. Aku bertanya: Apa yang Allah lakukan padamu? Beliau menjawab: Allah mengasihiku dan mengampuniku – sampai dengan- Lalu aku (Imam Syafi’i) bertanya kepada Allah: dengan apa aku memperoleh derajat ini? Lalu ada orang yang menjawab: dengan solawat yang kau tulis di dalam kitab al-Risalah: صلى الله على محمد عدد ما ذكره الذاكرون وعدد ما غفل عن ذكره الغافلون . Abdullah bin al-Hakam berkata: Pagi harinya aku tengok kitab al-Risalah, ternyata solawat di dalamnya sama dengan yang aku tenggok di dalam mimpiku. Lafazh selawat Imam al-Syafi’i yang masyhur adalah seperti berikut; اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كلما ذكره الذاكرون وغفل عن ذكره الغافلون Disebutkan lafazh ini diambil daripada kitab beliau al-Risalah. Namun lafazh selawat Imam al-Syafi’i yang asal yang terdapat di dalam kitab al-Risalah (hlm. 16) tersebut agak berbeda sedikit dengan tambahan yang agak panjang yaitu sebagaimana yang sudah kami sebut di atas. Menurut mimpi tersebut, seolah-olah shalawat imam Syafi’i ini berfadhilah, namun demikian sepakat ahlussunnah bahwa yang terbaik adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu seandainya ada orang nadzar untuk bershalawat maka cara memenuhinya adalah dengan membaca shalawat ibrahimiyyah ajaran nabi, bukan shalawat buatan imam asyafi’i, karena ialah shalawat yang paling afdhal sebagaimana yang ada dalam kitab Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdatul Muftin 4/102, al-Majmu’ 3/464; Asnal Mathalib 22/18) [*] ولكن الأمر الهام الذي يجب أن يعلم أن العلماء قد قرروا أنه لا يؤخذ أي حكم شرعي من رؤية النبي صلى الله عليه وسلم في المنامات لأن الشريعة الإسلامية قد تمت وكملت قبل وفاة سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا} سورة المائدة الآية 3.كما أن مصادر التشريع معلومة ومعروفة وقد بينها الأصوليون وهي الكتاب والسنة والإجماع والقياس والمصادر التبعية على خلاف بينهم فيها وليس منها الرؤى ولا المنامات ولا يحتج بالرؤى في باب الأحكام الشرعية إلا من ضعف عقله وزاغ عن طريق الحق والصواب .فليست الرؤى والمنامات من مصادر التشريع وهذا هو الحق والصواب وماذا بعد الحق إلا الضلال ؟ وأكثر ما يؤخذ من الرؤى أن تكون بشارة أو نذارة لا أن تكون مصدراً للتشريع قال الإمام النووي عند كلامه على رؤى الرواة [ قال القاضي عياض رحمه الله: هذا ومثله استئناس واستظهار على ما تقرر من ضعف أبان لا أنه يقطع بأمر المنام ولا أنه تبطل بسببه سنة ثبتت ولا تثبت به سنة لم تثبت وهذا بإجماع العلماء , هذا كلام القاضي وقال الإمام النووي أيضاً: [ لو كانت ليلة الثلاثين من شعبان, ولم ير الناس الهلال, فرأى إنسان النبي صلى الله عليه وسلم في المنام، فقال له: الليلة أول رمضان لم يصح الصوم بهذا المنام، لا لصاحب المنام ولا لغيره ] المجموع6/292 وقال الإمام النووي أيضاً عند كلامه على خصائص النبي صلى الله عليه وسلم :[ ومنه أن من رآه في المنام فقد رآه حقاً فإن الشيطان لا يتمثل في صورته ولكن لا يعمل بما يسمعه الرائي منه في المنام مما يتعلق بالأحكام إن خالف ما استقر في الشرع لعدم ضبط الرائي لا للشك في الرؤيا لأن الخبر لا يقبل إلا من ضابط مكلف والنائم بخلافه ] تهذيب الأسماء واللغات1/43 وقال الشاطبي:[ وأما الرؤيا التي يخبر فيها رسول الله صلى الله عليه وسلم الرائي بالحكم فلا بد من النظر فيها أيضاً لأنه إذا أخبر بحكم موافق لشريعته فالحكم بما استقر وإن أخبر بمخالف فمحال لأنه صلى الله عليه وسلم لا ينسخ بعد موته شريعته المستقرة في حياته لأن الدين لا يتوقف استقراره بعد موته على حصول المرائي النومية لأن ذلك باطل بالإجماع فمن رأى شيئاً من ذلك فلا عمل عليه وعند ذلك نقول عن رؤياه غير صحيحة إذ لو رآه حقاً لم يخبر بما يخالف الشرع ] الاعتصام 1/321. وانظر أيضاً الموافقات للشاطبي1/114-115. وقال شيخ الإسلام ابن تيمية[ الرؤيا المحضة التي لا دليل على صحتها لا يجوز أن يثبت بها شيء بالاتفاق ] مجموع الفتاوى 27/457 وقال ابن حزم الظاهري[ الشرائع لا تُؤْخَذ بالمنامات ] المحلى 6 / 507 .وقال الشوكاني:[ المسألة السابعة: في رؤيا النبي صلى الله عليه وسلم ذكر جماعة من أهل العلم منهم الأستاذ أبو إسحاق أن يكون حجة ويلزم العمل به وقيل حجة ولا يثبت به حكم شرعي وإن كانت رؤية النبي صلى الله عليه وسلم رؤية حق والشيطان لا يتمثل به لكن النائم ليس من أهل التحمل للرواية لعدم حفظه وقيل إنه يعمل به ما لم يخالف شرعاً ثابتاً ، ولا يخفاك أن الشرع الذي شرعه الله لنا على لسان نبينا صلى الله عليه وسلم قد كمله الله عز وجل وقال {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ }ولم يأتنا دليل يدل على أن رؤيته في النوم بعد موته صلى الله عليه وسلم إذ قال فيها بقول أو فعل فيها فعلاً يكون دليلاً وحجة بل قبضه الله إليه عند أن كمَّل لهذه الأمة ما شرعه لها على لسانه ولم يبق بعد ذلك حاجة للأمة في أمر دينها وقد انقطعت البعثة لتبليغ الشرائع وتبينها بالموت وإن كان رسولاً حياً وميتاً وبهذا تعلم أن لو قدَّرنا ضبط النائم لم يكن ما رآه من قوله صلى الله عليه وسلم أو فعله حجة عليه ولا على غيره من الأمة ] إرشاد الفحول إلى تحقيق الحق من علم الأصول ص249. وقال الشيخ العلامة عبد العزيز بن باز :[ ، ولا يجوز أن يعتمد عليها في شيء يخالف ما علم من الشرع ، بل يجب عرض ما سمعه الرائي من النبي من أوامر أو نواهي أو خبر أو غير ذلك من الأمور التي يسمعها أو يراها الرائي للرسول صلى الله عليه وسلم على الكتاب والسنة الصحيحة ، فما وافقهما أو أحدهما قبل ، وما خالفهما أو أحدهما ترك؛ لأن الله سبحانه قد أكمل لهذه الأمة دينها وأتم عليها النعمة قبل وفاة النبي صلى الله عليه وسلم فلا يجوز أن يقبل من أحد من الناس ما يخالف ما علم من شرع الله ودينه سواء كان ذلك من طريق الرؤيا أو غيرها وهذا محل إجماع بين أهل العلم المعتد بهم ، أما من رآه عليه الصلاة والسلام على غير صورته فإن رؤياه تكون كاذبة كأن يراه أمرد لا لحية له ، أو يراه أسود اللون أو ما أشبه ذلك من الصفات المخالفة لصفته عليه الصلاة والسلام ، لأنه قال عليه الصلاة والسلام : " فإن الشيطان لا يتمثل في صورتي " فدل ذلك على أن الشيطان قد يتمثل في غير صورته عليه الصلاة والسلام ويدعي أنه الرسول صلى الله عليه وسلم من أجل إضلال الناس والتلبيس عليهم . ثم ليس كل من ادعى رؤيته صلى الله عليه وسلم يكون صادقا وإنما تقبل دعوى ذلك من الثقات المعروفين بالصدق والاستقامة على شريعة الله سبحانه ، وقد رآه في حياته صلى الله عليه وسلم أقوام كثيرون فلم يسلموا ولم ينتفعوا برؤيته كأبي جهل وأبي لهب وعبد الله بن أبي بن سلول رأس المنافقين وغيرهم ، فرؤيته في النوم عليه الصلاة والسلام من باب أولى ] ونقل صاحب تهذيب الفروق والقواعد السنية عن العلامة العطار قوله: ولا يلزم من صحة الرؤيا التعويل عليها في حكم شرعي لاحتمال الخطأ في التحمل وعدم ضبط الرائي ] تهذيب الفروق والقواعد السنية 4/270. وقد وجدت كلاماً للإمام القرافي في مسألة قريبة من مسألة الطلاق الزوجة بناءً على الرؤية حيث قال:[فلو رآه عليه الصلاة والسلام فقال له : إن امرأتك طالق ثلاثاً , وهو يجزم بأنه لم يطلقها فهل تحرم عليه ; لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقول إلا حقاً وقع فيه البحث مع الفقهاء واضطربت آراؤهم في ذلك بالتحريم وعدمه لتعارض خبره عليه الصلاة والسلام عن تحريمها في النوم وإخباره في اليقظة في شريعته المعظمة أنها مباحة له , والذي يظهر لي أن إخباره عليه الصلاة والسلام في اليقظة مقدم على الخبر في النوم لتطرق الاحتمال للرائي بالغلط في ضبط المثال , فإذا عرضنا على أنفسنا احتمال طروء الطلاق مع الجهل به واحتمال طروء الغلط في المثال في النوم وجدنا الغلط في المثال أيسر وأرجح , ومن هو من الناس يضبط المثال على النحو المتقدم إلا أفراد قليلة من الحفاظ لصفته عليه الصلاة والسلام وأما ضبط عدم الطلاق فلا يختل إلا على النادر من الناس والعمل بالراجح متعين , وكذلك لو قال له عن حلال : إنه حرام , أو عن حرام إنه حلال , أو عن حكم من أحكام الشريعة قدمنا ما ثبت في اليقظة على ما رأى في النوم لما ذكرناه كما لو تعارض خبران من أخبار اليقظة صحيحان فإنا نقدم الأرجح بالسند أو باللفظ أو بفصاحته أو قلة الاحتمال في المجاز أو غيره فكذلك خبر اليقظة وخبر النوم يخرجان على هذه القاعدة ] الفروق 4/245-246. وأخيراً أذكر ما قاله الشاطبي:[ وعلى الجملة فلا يستدل بالرؤيا في الأحكام إلا ضعيف المنّة نعم يأتي المرئي تأنيساً وبشارة ونذارة خاصة بحيث لا يقطعون بمقتضاها حكماً ولا يبنون عليها أصلاً وهو الاعتدال في أخذها حسبما فهم من الشرع فيها ] الاعتصام 1/322. وبعد هذه النقول عن فحول أهل العلم أقول لا شك أنه لا يصح في دين الإسلام الاعتماد على الرؤى والأحلام في إثبات الأحكام ولا يجوز للمرء أن يطلق زوجته بناءً على تلك المنامات . Bersambung ke bag-3 ***** [1] Ahmad Qusyairi ibn Shiddîq Al-Bâsuruani (1392), Al-Wasîlatu `l-Hariyyah Fi `s-Shalawâti ‘Alâ Khairi `l-Bariyyah, diterbitkan oleh ‘Umar ibn Ahmad Qusyairi ibn Shiddîq, tt [2] Nafisah bint Zaid ibn Hasan ibn Ali bin Abi Thalib, makamnya di Mesir diagungkan.

Dialog Ulama Wahhabi VS Anak Bau Kencur?!! (bag. 1)

Dialog Ulama Wahhabi VS Anak Bau Kencur?!! (bag. 1) oleh : Abu Hamzah Bismillahirrahmanirrahim. Selesai saya mengisi kajian di Mojokerto, Ahad, 23 R. awal 1432 H/ 27 Februari 2011 M, tiba-tiba ada peserta yang maju menyodorkan selembar kertas. Setelah saya baca judulnya, sayapun tersenyum. Saya katakan: “Ya, kebetulan tadi malam saya sudah tahu saat melihat di internet.” Terus dia meminta kepada saya untuk memberikan tanggapan terhadap pemberitaan yang dianggapnya janggal dan lucu tersebut. Saya pun menyanggupinya. Maka saya katakan: الحمد لله رب العلمين، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا مجمدا عبده ورسوله، اللهم صل على نبينا محمد وعلى آله وأزواجه وذرياته وصحايته ومن تبع سنته بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد: Saya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hidayah Islam dan sunnah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para sahabatnya serta pengikut sunnahnya hingga akhir zaman: Berita yang di internet dan yang disodorkan oleh jama’ah di Mojokerto itu lengkapnya sebagai berikut: [DIALOG ULAMA WAHHABI VS ANAK BAU KENCUR Pada bulan Desember 2009, organisasi al-Irsyad Jember mengadakan pelatihan akidah Syi’ah selama lima hari. Di antara pembicaranya adalah seorang tokoh Wahhabi dari Malang, Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag, yang dikenal dengan Ustadz Abu Hamzah. Ia dikenal dengan Ustadz Salafi yang memiliki jam terbang tinggi. Beberapa perguruan tinggi salafi, membanggakan Abu Hamzah karena menjadi salah satu dosen tamu istimewanya. Ternyata dalam pelatihan yang semula difokuskan pada persoalan ajaran Syi’ah, Abu Hamzah juga memberikan materi tentang bid’ah, dengan mengkaji kitab Ushul al-Bida’, karangan Ali Hasan al-Halabi, ulama Wahhabi dari Yordania yang murid Syaikh Nashir al-Albani. Dalam materi yang disampaikannya, Abu Hamzah berkata begini, “Bid’ah dalam beribadah adalah membuat cara-cara baru dalam ibadah yang belum pernah diajarkan pada masa Rasulullah saw, seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi, berdoa dengan doa-doa yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dan sahabat dan berdzikir secara keras dan bersama-sama sehabis shalat berjamaah.” Mendengar pernyataan ini, seorang peserta yang masih belum selesai S1 di STAIN Jember bertanya kepada Abu Hamzah, “Kalau bapak mendefinisikan bid’ah seperti itu, kami punya tiga pertanyaan berkaitan dengan konsep bid’ah yang Anda sampaikan. Pertama, bagaimana dengan redaksi shalawat yang disusun oleh Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i dan lain-lain, yang jelas-jelas tidak ada contohnya dalam hadits Rasulullah saw. Beranikah Anda mengatakan bahwa dengan sholawat yang mereka susun, berarti Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, Imam al-Syafi’i itu termasuk ahli bid’ah? Kedua, kalau Anda menganggap doa-doa yang disusun oleh para ulama termasuk bid’ah, bagaimana Anda menanggapi doa yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang dibaca oleh beliau selama 40 tahun dalam sujud ketika shalat. Beliau membaca doa berikut: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ “Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i“. Doa ini dibaca oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap sujud dalam shalatnya selama empat puluh tahun. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Imam Ahmad bin Hanbal termasuk ahli bid’ah yang akan masuk neraka? Ketiga, kalau Anda menganggap berdzikir secara berjama’ah itu bid’ah, bagaimana Anda menanggapi Ibnu Taimiyah yang melakukan dzikir jama’ah setiap habis sholat shubuh, lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah sampai Matahari naik ke atas, dan ia selalu menatapkan matanya ke langit. Padahal apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw. Pertanyaan kami, beranikah Anda menganggap Ibnu Taimiyah termasuk ahli bid’ah dan ahli neraka?” Mendengar pertanyaan ini, akhirnya Abu Hamzah diam seribu bahasa, tidak bisa menjawab. Dan akhirnya dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan. Dan begitulah, Ustadz Abu Hamzah yang pernah berguru kepada banyak Syaikh Wahhabi di Saudi Arabia itu, dikalahkan oleh seorang anak bau kencur yang belum selesai meraih gelar S1 di STAIN Jember. Wallahu a’lam.] Demikian berita tersebut secara lengkapnya. ***** TANGGAPAN: Pertama: saya berterimakasih kepada saudara saya yang disebut dengan istilah “anak bau kencur” dalam makalah tadi, atas pemberitaannya sehingga mengangkat nama saya sekaligus mengangkat dakwah sunnah yang saya bawa. Semoga Allah membalasnya dengan baik. Juga saya berharap agar saudara saya tadi benar-benar bertawadhu’ karena Allah supaya menjadi amal shalih yang besar manfaatnya. Sebab saya tidak tahu yang menyebutnya “anak bau kencur” itu dirinya sendiri atau orang lain? Wallahu a’lam. Kedua: Saya berharap saudara saya itu mau memberitakan secara utuh biar lepas dari amanah. Sebab kalimat: “Dan akhirnya dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan. Dan begitulah, Ustadz Abu Hamzah ….. itu, dikalahkan oleh seorang anak bau kencur” ini mengundang pertanyaan penting: “Apa saja hal-hal yang dibicarakan Abu Hamzah, yang dianggap oleh anak bau kencur ini tidak ada kaitannya dengan pertanyaan?” Siapa tahu hal-hal itu justru memang jawabannya, tetapi tidak difahami oleh anak bau kencur ini? Ataukah “hal-hal/ jawaban itu” tidak didengar atau tidak diingatnya?” Kalau kita cermati, berita ini hanya berisi sedikit latar belakang yang membuat dia bertanya, kemudian pertanyaan dan persepsi penanya, tidak ada berita tentang jawaban Abu Hamzah. Dia hanya menggiring orang lain dengan opininya: “dia membicarakan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan.” Terus, kelemahan berita tadi adalah adanya pemberitaan sifat yang tidak seimbang, (alias Jomplang), yaitu antara dua berita yang ditonjolkan tentang Abu Hamzah. Pertama “Ia dikenal dengan Ustadz Salafi yang memiliki jam terbang tinggi. Beberapa perguruan tinggi salafi, membanggakan Abu Hamzah karena menjadi salah satu dosen tamu istimewanya”. Kedua: “Mendengar pertanyaan ini, akhirnya Abu Hamzah diam seribu bahasa, tidak bisa menjawab.”Menurut saya, orang yang berakal pasti bertanya-tanya: masak sih, orang yang jam terbangnya tinggi terus berstatus sebagai pemberi materi diam seribu bahasa begitu saja?!! Apalagi di sebagian situs ditulis “Senior Salafy wahabi VS Mahasiswa” atau “DIALOG ULAMA WAHHABI VS ANAK BAU KENCUR “. Kemudian setelah diam seribu bahasa disebutkan -yang secara kasarnya- bahwa “ia ngomong ngalur ngidul yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan?!! Ini bagi orang yang tidak mengenal Abu Hamzah tetapi mau berfikir. Adapun bagi yang mengenalnya maka jelas tidak akan percaya. Maka berita seperti ini tidak efektif bagi orang yang tahu atau yang berfikir. Seperti sengaja dipilih kata-kata itu untuk mengesankan “wahhabi itu bodoh, ulamanya saja bodoh apalagi pengikutnya, maka jangan dekat-dekat dengan mereka biar tidak jadi bodoh”. Kira-kira begitu…! Ketiga: Dia menyebut Abu Hamzah sebagai wahhabi.Pertanyaannya: Gelar wahhabi yang disematkan pada Abu Hamzah itu pujian atau celaan? Jika pujian maka tidak mungkin, sebab saudara saya yang katanya bau kencur ini tidak sedang memujinya, melainkan ingin menjatuhkannya, dan menunjukkan bahwa ia berhasil mengalahkannya. Baik, kalau begitu kata wahhabi digunakan untuk mencela? Ya. Di antara buktinya mereka mengatakan: Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadai dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh.” Mereka (para komentator) di www.aswaja-nu.com menulis komentar seperti ini: Anjing-anjing wahabi muncul….dasar hati batu…dikasih fakta malah bantah !! wahabi emang anjingnya Inggris. Selain itu, ada juga yang menulis “jauhi fitnah faham wahabi”, “Wahabi adalah Yahudi khawarij”. Ada pula yang menulis sebuah artikel sekitar sepuluh halaman berjudul ”Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan”. Dan lain-lain. Dengan demikian istilah wahhabi dimaknai “pengikut Muhammad ibn Abdul wahhab yang sesat”, atau “orang bodoh sesat karena mengikuti faham orang sesat”. Jika demikian maka saya berhak bertanya kepada saudaraku yang berjuluk “bau kencur” ini, juga yang lainnya dari orang yang menggunakan istilah wahhabi untuk menyebut orang yang menyalahi tradisinya –meski tradisi itu menyalahi agama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Bukankah kata wahhabi itu nisbat kepada Al-Wahhab (Allah Yang Maha memberi, menganugerahi? seperti rahmani nisbat kepada Al-Rahman, Rabbani nisbat kepada al-Rabb, ilahi nisbat kepada al-Ilah? Bolehkah kata rahmani, rabbani, ilahi dan wahhabi untuk gelar cacian dan celaan, atau untuk menjadi julukan bagi kelompok sesat? Kalau tidak boleh, kenapa diteruskan, diwariskan dan dilestarikan?! Kalau madzhab yang dinisbatkan kepada nama para imam saja (seperti madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dll) mendapatkan tempat dan terpuji, lalu madzhab yang dinisbatkan kepada Al-Wahhab (wahhabi) atau nisbat kepada Nabi Muhammad (muhammadi) ditolak dan dicela? Jika nama imam digunakan untuk makna positif, lalu kenapa nama Allah atau Muhammad digunakan untuk makna negatif? Apakah kita umat Islam ridha terhadap istilah yang rancu ini? Jika Anda inshaf (adil), lebih bagus mana nisbat kepada Allah: ilahi, rahmani, rabbani, wahhabi ataukah nisbat kepada kain wol (shuf), yaitu shufi? Jika yang Anda anggap sesat itu Muhammad Putra Syaikh Abdul Wahhab, lalu kenapa Allah (al-Wahhab) yang dicela? Bukankah seharusnya kelompoknya disebut muhammadi atau muhammadiyyah? Kenapa itu tidak dilakukan? Jika yang salah itu anaknya yang bernama Muhammad, lalu kenapa hujatan itu menggunakan nama bapaknya yang bernama Abdul Wahhab? Sementara bapaknya tidak ikut-ikutan, bahkan menurut Syaikh Ahmad Zaini Dahlan tadi ayahnya itu adalah seorang ahli ilmu yang juga memvonis sesat putranya? Kenapa justru nama bapaknya dijadikan simbol kesesatan itu?! Jadi, istilah wahhabi kalau digunakan untuk menghujat syaikh Muhammad maka larinya justru kepada Allah dan kepada ayahnya, sementara beliau selamat dari celaan itu. Maka apakah kalian mencela Allah al-Wahhab atau ayah syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab? Kalau kenyataannya rancu seperti ini, lalu siapa yang pertama kali membuat istilah celaan itu? Apakah ahli ilmu ahlussunnah? Ataukah musuh sunnah? Ataukah orang jahil? Wallahu a’lam. Maksud saya kalau mau mencela ajaran Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab jangan menggunakan wahhabi, tapi gunakanlah istilah lain, agar kita tidak mewarisi kebodohan. Tetapi kalau kata wahhabi digunakan untuk makna positif, untuk menyebut pengikut sunnah Nabi Muhammad r yang memberantas bid’ah maka aku katakan seperti yang diucapkan Mulla Imran seorang penyair syi’ah yang sudah taubat kepada sunnah: إِنْ كاَنَ تَابِعُ أَحْمَدَ مُتَوَهِّبًا****فَأَنَا الْمُقِرُّ بِأَنَّنِيْ وَهَّابِي “Jika pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut wahhabi, maka aku akui bahwa aku adalah wahhabi.” Ini seperti ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang seumur-umur tidak ada kaitannya dengan rafidhah majusiyyah kok dituduh rafidhi –oleh Khawarij, menurut Imam Baihaqi- maka beliau berkata: “Jika rafdh (rifdh) itu adalah cinta keluarga Muhammad, maka silakan jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalahh rafidhi.”[1] Juga sama dengan ibn Taimiyyah yang dituduh nashibi (karena mencintai sahabat Nabi), beliau membantah mereka: إن كان نصباً حب صحب محمدٍ * * * فاليشهد الثقلان أني ناصبي “Jika nashb adalah cinta para sahabat Nabi Muhammad maka silakan disaksikan oleh jin dan manusia bahwa aku adalah nashibi.”[2] Keempat : untuk meyakinkan orang awam kalau Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (pelopor dakwah pembaharuan, pemurnian tauhid dan penghidupan sunnah) itu sesat, dan fahamnya yang mereka sebut secara salah “faham wahhabi” itu sesat, maka para musuh beliau itu tidak segan-segan membuat tuduhan yang kejam misalnya:- Syaikh Muhammad membenci Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan melarang orang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Syaikh Muhammad membenci shalawat, melarang orang bershalawat. Syaikh Muhammad mencela para wali, menghina dan merendahkan para wali serta tidak beriman dengan karamah wali. Syaikh mencela para ulama yang terdahulu maupun yang sezaman dengannya, termasuk imam madzhab empat. Syaikh mengkafirkan kaum muslimin di masanya. Syaikh membuat agama baru. Syaikh menghidupkan pikiran Khawarij dan sebagainya. Maka perlu bertanya kembali: Siapa yang membuat istilah wahhabi untuk beliau dan pengikutnya? siapa yang memusuhi beliau? Apa tujuan mereka? Saya serahkan kepada Anda semua. Marilah kita mengingat ucapan Amirul Mukminin Ali Radhiallahu ‘Anhu yang sangat berharga: الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله: “Kebenaran tidak diukur dengan orang, kenalilah kebenaran maka kamu akan tahu orangnya.”[3] Lalu bagaimanakah jawaban kami selanjutnya terhadap berita Dialog Ulama Wahhabi vs anak bau kencur? Tunggu lanjutannya. Hilangkan keraguan dan rasa penasaran. (Tapi mohon bersabar, karena menunggu jadwal) [*] [1] Ibn Hajar al-Hatami, al-Shawa’iq al-Muhriqah ‘ala ahlirrafdhi wad-dhalalti waz-zandaqah, 2/388; Ibn Asakir, Tabyin kidzbil Mufatri, 1/363. [2] Dar` Ta’arudh al-’Aql wan-Naql, 1/133; Ibnul Qayyim, Madarijussalikin, 1/88 [3] قال الشاطبي رحمه الله: “إذا ثبت أن الحق هو المعتبر دون الرجال فالحق أيضا لا يعرف دون وسائطهم، بل بهم يتوصل إليه وهم الأدلاء على طريقه” الإعتصام 548. وقال شيخ الإسلام رحمه الله: “..فأئمة المسلمين الذين اتبعوهم وسائل وطرق وأدلة بين الناس وبين الرسول عليه الصلاة والسلام، يبلغونهم ما قاله ويفهمونهم مراده بحسب اجتهادهم واستطاعتهم” الفتاوى 20/224. وانظر” إرشاد النقاد إلى تيسير الاجتهاد” للصنعاني رحمه الله 105 وكتاب “الروح” لابن القيم 357. قال الغزالي رحمه الله: “فاعلم أن من عرف الحق بالرجال حار في متاهات الضلال، فاعرف الحق تعرف أهله إن كنت سالكا طريق الحق وإن قنعت بالتقليد والنظر إلى ما اشتهر من درجات الفضل بين الناس، فلا تغفل الصحابة وعلو منصبهم” الاحياء 1/29. وقال ابن الجوزي رحمه الله: “اعلم أن المقلد على غير ثقة فيما قلد فيه وفي التقليد إبطال منفعة العقل لأنه إنما خلق للتأمل والتدبر، وقبيح بمن أعطي شمعة يستضيء بها أن يطفئها ويمشي في الظلمة!. واعلم أن عموم أصحاب المذاهب يعظم في قلوبهم الشخص فيتبعون قوله من غير تدبر لما قال وهذا عين الضلال، لأن النظر ينبغي أن يكون إلى القول لا إلى القائل كما قال علي رضي الله عنه لحارث بن حوط وقد قال له: أتظن أن طلحة والزبير كانا على باطل؟ فقال له: يا حارث! إنه ملبوس عليك إن الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” اهـ تلبيس إبليس منتقاه 77 وانظر أقاويل الثقات 228, وصيد الخاطر36-37. ولذلك يقال: من الأخطاء التي يراها المرء في حياة كثير منا في هذا المجال أن ترى اختيارنا للأقوال ليس مبنيا على الاستدلال، وإنما بمجرد أن القائل بهذا القول إمام كبير! أو لأن القائل بهذا القول أكثر علما ممن قال بسواه! أو هو قول الأكثرين! أو لأن المقبل عليه أكثر! أو لأنه المشهور! أو نحو ذلك مما يدل على أن السالك لهذا الدرب حاله كحال العوام الذين يعتبرون الصناعة بالصانع كما قال المناوي رحمه الله: “ودأبهم (أي العوام) أن يعتبروا الصناعة بالصانع خلاف قول علي رضي الله عنه الحق لا يعرف بالرجال اعرف الحق تعرف أهله” فيض القدير1/17. فالحق -إذن- لا يوزن بالرجال وإنما يوزن الرجال بالحق بل كل قول يُحْتَجُّ له خلا قول النبي عليه الصلاة والسلام فإنه يحتج به. (Dibaca 1,590 kali, hari ini 11 kali)

Orang Syiah Memusuhi Allah dan Nabi Muhammad

Orang Syiah Memusuhi Allah dan Nabi Muhammad Orang syiah berkata : اننا لم نجتمع مع أهل السنة على إله ولم نجتمع معهم على نبي ولم نجتمع معهم على إمام “Kita tidak bertemu dengan ahlussunnah dalam halam Tuhan yang kita sembah Tidak juga dalam hal nabi Tidak juga dalam hal imam” Alsannya? ان أهل السنة والجماعة يقولون ان ربهم هو الذي كان محمد صلى الله عليه وسلم نبيه وخليفته بعده ابو بكر “Karena ahlussunnah waljama’ah berkata bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang nama Nabi-Nya Muhammad dan pengganti Nabinya sesudahnya adalah Abu Bakar” Dengan demikian kenapa?: الشيعة الروافض الزواحف لا يقولون بهذا الرب ولا بذلك النبي “Dengan demikian Syiah Rafidhah tidak mau mengakui Tuhan tersebut dan nabi tersebut.” Terus? Dengan penuh kelancangan dan dengan sepenuh mulut orang syiah berkata: ان الرب الذي خليفة نبيه ابو بكر ليس ربنا ولا ذلك النبي نبينا “Sesugguhnya Tuhan yang Khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakar maka ia bukan Tuhan kami dan Nabi tersebut bukan Nabi kami.” Ingin Bukti? Simak baik-baik tulisan Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyyah: yang diberi garis bawah: bukti 194x300 Orang Syiah Memusuhi Allah dan Nabi Muhammad Bagaimana menurut Anda Yang mulia dan berakal?

Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)

Waspada! Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran) Oleh : Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag. Buku ini berisi banyak kebatilan dan fitnah. Diantaranya adalah mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal ini:. 1 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) 1. Menyebut Kota Qum Kota suci Syiah, Iran Di halaman 68-69 penulis buku yang menamakan diri sebagai Syaikh Idahram dan yang menjuluki Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sebagai ustadz kampung (halaman 31), sementara Idahram sendiri yang bergelar Syaikh itu tidak kita kenal menjadi ustadz di kampung mana, menulis: perjuangan mereka (maksudnya wahabi) hanya dipenuhi dengan air mata dan darah umat Islam melalui berbagai penyerangan dan pembunuhan yang mereka lakukan kepada penduduk Makkah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah, Karbala, Najef, Qum, Omman, Kuwait, negri-negri Syam dan neger-negeri Islam lainnya.” Kita bertanya-tanya, mengapa ia sebut Qum sementara tidak ada penjabaran tentang pembunuhan oleh kaum wahhabi di kota Qum itu? 2. Menyebut wasiat Nabi kepada Ali di Ghadir Khum beserta perayaannya (hari raya id al-Ghadir) tanpa komentar dan pengingkaran bahkan menisbatkan perayaannya kepada umat Islam Irak secara mutlak (halaman 72). “Para penulis Syiah sepakat bahwa serangan dan serbuan itu terjadi pada hari ‘id al-Ghadir ketika umat Islam Irak. Seandainya penulis ahlussunnah yang baik tentu menjelaskan bahwa hadits Ghadir tidak ada kaitannya dengan Khilafah Ali, tetapi berkaitan dengan kecintaan kepada Ali. Adapun mengaitkannya dengan Khilafah Ali dan menjadikannya sebagai hari raya maka itu adalah bagian dari kebatilan syiah, sebagaimana yang dilakukan oleh Khumaini. Dia menulis dalam kitab al-Hukumah al-Islamiyyah (26) ” وفي غدير خم في حجة الوداع عينه الرسول \ حاكما من بعده ومن حينها بدأ الخلاف يدب في نفوس قوم . 3. Membela orang Iran yang berbuat onar di musim haji di tanah suci, dan penulis menulisnya dengan judul “Pembantaian Jamaah Haji Iran. (halaman 99), seolah yang berbicara ini orang syiah atau orang Iran. Yang benar, setelah ashar hari Jumat, 6 Dzulhijjah 1407 H, jama’ah haji Iran melakukan demo di halaman Masjidil Haram mengangkat foto-foto Khumaini yang banyak dan besar-besar bahkan sebagian digantungkan di tiang-tiang, spanduk-spanduk, poster-poster, dan bendera-bendera. Mereka membuat gaduh, membuat macet jalan, mengganggu para jamaah haji dan penduduk Makkah dari keperluannya. Bagian depan dari demonstan menolak untuk berunding dan tetap maju menuju Masjidil Haram. Kekuatan keamanan Saudi berjaga-jaga di pinggir jalan melarang jamaah haji lain masuk ke arak-arakan orang syiah Iran itu, tapi orang Iran menyerang polisi dengan tongkat dan batu yang mereka bawa dan mereka sembunyikan dalam baju mereka, maka diperintahkanlah kekuatan kemanan Saudi untuk mengendalikan dan mengamankan keadaan. Saat ditangani mereka mundur dan demonstran jadi kacau sehingga berjatuhanlah puluhan wanita dan juga laki-laki lanjut usia terus terinjak-injak. Para pendemo Iran itu membakar mobil dan sepeda milik Polisi Saudi, bahkan berusaha membakar sebagian gedung. Saksi, bukti dan video menetapkan bahwa yang pertama kali melakukan pukulan dan penusukan adalah syiah Iran dengan pisau yang mereka bawa. Mereka menikamkan ke dada polisi dan warga. Akibat dari keributan dan keonaran yang dilakukan oleh orang syiah Iran itu adalah: 402 orang wafat; 85 diantara mereka adalah polisi Saudi dan warga, 42 jamaah haji lain, 275 jamaah haji Iran yang melakukan demo, kebanyakan wanita. Adapun korban luka-luka mencapai 649 orang: 145 diantaranya polisi dan warga Saudi, 201 jamaah haji, 303 jamaah haji Iran. Sedangkan kerugian alat-alat: pembakaran 3 mobil, 3 sepeda milik pasukan keamanan polisi, pengrusakan puluhan mobil haji dan warga. Silakan melihat video peristiwa itu di: http://up.download-2.info/47613/Shiite-terrorism-bloody-pictures-and-video.html Maka tidak salah jika ada orang membayangkan, seandainya penulis hadir waktu itu mungkin dia ikut bergabung dengan rombongan demonstran rafidhah yang bikin onar itu. 4. Menyebut Najaf dengan gelar al-Asyraf Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an Najaf al-Asyraf, namun hanya sampai di As-Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.” (SBSSW, hal. 104-105). Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al-Asyraf.[1] Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu seperti surat milik ulama mereka Shadiq al-Ruhani (mengaku sebagai murid Abul Hasan al-Ishfahani) berikut ini: 2 283x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran)3 300x225 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran)4 300x170 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) 5. Menyebut sahabat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, Hasan Radhiallahu ‘Anhu, Husain Radhiallahu ‘Anhu dengan sebutan Imam tanpa sahabat yang lain. Juga menyebut Ja’far as-Shadiq dengan sebutan imam, layaknya orang syiah (halaman 137). 6. Menyesalkan penghancuran kuburan keramat kaum syiah dan menganggap menghancurkannya adalah kejahatan, padahal itu adalah sunnah Rasulullah dan ahlul bait –ini satu bukti bahwa sebenarnya syiah itu tidak mengikut ahlul bait-. Di halaman 136 penulis menyebutkan: “6. meratakan kuburan para imam yang sangat dihormati kaum syiah dan umat Islam dunia, khususnya di makam al-Baqi`. Jika benar penulis sebagai ahlussunnah (atau benar-benar cinta ahlul bait) seharusnya ingat hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang memerintahkan Ali Radhiallahu ‘Anhu untuk menghancurkan kuburan. Dan perintah ini dilestarikan oleh khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu. عن أبي الهياج الأسدي قال: قال لي علي بن أبي طالب: (ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول؟ أن لا تدع تمثالاً إلا طمسته، ولا قبراً مشرفاً إلا سويته). أخرجه مسلم. 7. Meratapi kubah-kubah kuburan dan menyebut Abdul Muththalib dan Abu Thalib dengan sayyidina. Di halaman 106 ditulis; saat salafi wahabi berkuasa berbagai operasi pemusnahan secara besar-besaran telah dilakukan. Diantaranya adalah pemusnahan apa saja yang ada di ma’la, sebuah kawasan pekuburan Quraisy yang terdiri dari kubah-kubah yang pegitu banyak, termasuk kubah sayyidina Abd al-Muththalib (kakek Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dan sayyidina Abi Thalib…” Seandainya penulis ahlussunnah yang memiliki ilmu tentu sudah tahu bahwa Abu Thalib adalah mati dalam keadaan sesat kafir sebagaimana yang dikatakan oleh putranya sendiri yaitu Khalifah Ali –ini bukti bahwa agama syiah itu bukanlah mengikut ahlul bait, apalagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-. فقد أخرج أبو داود بسند صحيح عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال: “قلت للنبي صل الله عليه وسلم: إن عمك الشيخ الضال قد مات، قال: اذهب فوارِ أباك، ثم لا تُحْدِثن شيئاً حتى تأتيني، فذهبت فواريته وجئته فأمرني فاغتسلت ودعا لي”. (صحيح أبو داود:3214) وعند الإمام أحمد بلفظ: “لما توفي أبو طالب أتيت النبي صل الله عليه وسلم، فقلت: إن عمك الشيخ الضال قد مات فمن يواريه؟ قال النبي صل الله عليه وسلم: اذهب فواره، ثم لا تُحْدِث شيئاً حتى تأتيني. فقال: إنه مات مشركاً، قال: اذهب فواره، قال: فواريته ثم أتيته، قال: اذهب فاغتسل ثم لا تحدث شيئاً حتى تأتيني، قال: فاغتسلت ثم أتيته، قال: فدعا لي بدعوات ما يسرني أن لي بها حُمْر النعم وسودها، وكان علي إذا غسل الميت اغتسل”. وفي هذا الحديث دليل لعدم مشروعية تعزية المسلم بوفاة قريبه الكافر، حيث إن النبي صل الله عليه وسلم لم يُعَزِّ علياً رضي الله عنه في أبيه، ومن باب أولى دليل علي عدم جواز تعزية الكفار بأمواتهم أصلاً. تنبيه: هذا الحديث ضعَّفه بعض أهل العلم، وقالوا في إسناده لين، لكن صححه الشيخ الألباني – رحمه الله - 8. Mengangkat madzhab Ja’fari dan madzhab Imamiyyah. Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis buku SBSSW berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh-Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208). Demi Allah, Ahlus Sunnah (ahli hadits) di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahul-musta’an! Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini tidak rasional. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya, bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf. 9. Memusuhi Syaikh ibn Jibrin dan menolak fatwa wajibnya jihad melawan syiah. Di halaman 181 ada judul pembahasan “Di antara Fatwa dan Pendapat Salafi Wahabi Yang menyimpang” pada no.5: disebutkan: Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: Fatwa Jihad terhadap Syiah dan wajib melaknat mereka. Perlu diketahui bahwa yang paling menbenci Syekh Jibrin adalah Syiah, karena beliau telah mengkafirkan syiah dengan 3 alasan dan telah menfatwakan haram mendukung Hizbullah dan milisi-milisi Syiah Rafidhah yang telah melakukan pembantaian terhadap kaum muslimin ahlussunnah di Irak, dan syaikh mengingatkan kembali akan kekejaman Shafawiyyiin sepanjang sejarah. Maka orang syiah mengkafirkan Syekh Ibn Jibrin dan menghalalkan darahnya. Tiga alasan syekh Jibrin mengkafirkan syiah: 1) menikam al-Qur`an, dengan meyakini bahwa para sahabat membuang lebih dari 2/3 isinya dan mentahrifnya, 2) menikam para sahabat dan sunnah Nabi saw, karena mereka menolak hadits-hadits yang ada di dalam shahih Bukhari –Muslim dan menolak hadits-hadits para sahabat, karena sahabat menurut mereka adalah kafir, 3) ghuluw, hingga mereka menyembah Ali dan Husen dan memanjatkan doa kepada mereka. Fatwa syaikh Jibrin saat ditanya apakah boleh bergabung dengan hizbullah, dan mendoakan mereka dengan kemenangan? Beliau menjawab : : لا يجوز نُصرة هذا الحزب الرافضي، ولا يجوز الانضواء تحت إمرتهم، ولا يجوز الدعاء لهم بالنصر والتمكين، ونصيحتنا لأهل السنة أن يتبرؤوا منهم، وأن يخذلوا من ينضموا إليهم، وأن يبيّنوا عداوتهم للإسلام والمسلمين وضررهم قديماً وحديثاً على أهل السنة، فإن الرافضة دائماً يُضمرون العداء لأهل السنة، ويحاولون بقدر الاستطاعة إظهار عيوب أهل السنة والطعن فيهم والمكر بهم، وإذا كان كذلك، فإن كل من والاهم دخل في حكمهم لقول الله تعالى: (وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ) Berikut Fatwa Syaikh terkait dengan kekejaman Rafidhah di Irak (inilah yang dimaksud oleh penulis dengan: Fatwa Jihad terhadap Syiah dan wajib melaknat mereka) : يكثر الابتلاء بالشيعة في كثير من الدوائر من مدارس وجامعات ودوائر حكومية، في هذه الحال نرى إذا كانت الأغلبية لأهل السنة أن يظهروا إهانتهم وإذلالهم وتحقيرهم وكذلك أن يظهروا شعائر أهل السنة فيذكرون دائم فضائل الصحابة ويذكرون الترضي عنهم ومدائحهم وتشتمل مجالسهم على ذكر فضل القرآن وعلى ذكر _ تكفير من حرفه أو ما أشبه ذلك_ لعلهم أن ينقمعوا بذلك وأن يذلوا ويبصق في وجوههم ويُهانوا ؛ لتضيق بذلك صدورهم ويبتعدوا، أما معاملتهم فيعاملهم الإنسان بالشدة فيظهر في وجوههم الكراهية ويظهر البغض والتحقير والمقت لهم ولا يبدأهم بالسلام ولا يقوم لهم ولا يصافحهم، لكن يمكن إذا ابتدؤا بالسلام _ أن يرد عليهم بقوله وعليكم أو ما أشبه ذلك وعلى هذا إن كان لأهل السنة دولة وقوة وأظهر الشيعة بدعهم، وشركهم، واعتقاداتهم، فإن على أهل السنة أن يجاهدوهم بالقتال، بعد دعوتهم ليكفوا عن إظهار شركهم، وبدعهم، ويلزموا شعائر الإسلام، وإذا لم تكن لأهل السنة قدرة على قتال المشركين، والمبتدعين، وجب عليهم القيام بما يقدرون عليه من الدعوة، والبيان، لقوله تعالى : ( لا يكلف الله نفساً إلا وسعها ) Untuk mengenang kebaikan syaikh berikut ini perbandingan antara Jenazah Syaikh ibn Jibrin rahimahullah dan penta’ziyah ahlussunnah dengan Jenazah Khumaini dan orang-orang syiah yang melayatnya : 5 146x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) 10. Menolak fatwa bolehnya menipu syiah Penulis menyebutkan bahwa syaikh Aidh al-Dusari menfatwakan bolehnya menipu syiah. (SBSSW , halaman 181) Kalau fatwa syaikh itu jahat maka fatwa tokoh-tokoh agama taqiyyah yang dia bela itu lebih jahat lagi. Tapi mengapa penulis menolak Syaikh Dusari dan tidak menolak Rafidhah? Mengapa menentang fatwa bolehnya “menipu” syiah dan tidak menentang fatwa dan akidah syiah yang membolehkan menipu ahlussunnah? Mengapa tidak menolak Khumaini yang membolehkan melaknat umat Islam dan membohongi mereka? Mengapa tidak menolak ulama-ulama syiah yang menghalalkan darah umat Islam? Al-Khumaini berfatwa menganjurkan untuk melaknat ahlussunnah sebanyak-banyaknya : (غيرنا ليسوا بإخواننا وإن كانوا مسلمين.. فلا شبهة في عدم احترامهم بل هو من ضروري المذهب كما قال المحققون، بل الناظر في الأخبار الكثيرة في الأبواب المتفرقة لا يرتاب في جواز هتكهم والوقيعة فيهم، بل الأئمة المعصومون، أكثروا في الطعن واللعن عليهم وذكر مساوئهم)( المكاسب المحرمة – الخميني (1 / 251) الطبعة الثالثة 1410هـ، مطبعة إسماعيليان، قم.) Bahkan di halaman yang sama (1/251) Khumaini menegaskan bolehnya berdusta dan menfitnah ahlussunnah dalam madzhab syiah!!! Senada dengan Khumaini, al-Anshari juga membolehkan menggunjing dan melaknat ahlussunnah, yang disebut dengan istilah al-Mukhalif. (kitab al-Makasib, al-Anshari, 1/319, cet. 1/1415, terbitan Baqiri Qum). Mereka menganggap bahwa ahlussunnah itu nawashib, maka halal harta, kehormatan dan nyawanya. 6 204x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) Bahkan dianjurkan untuk membunuh mereka (ahlussunnah) ini yang difatwakan oleh Ulama besar mereka, Yusuf al-Bahrani (dalam kitabnya al-Hadaiq an-Nadhirah Fi Ahkam al-’ithrah al-Thahirah, 12/323-324) dan Nikmatullah al-Jazairi dalam al-Anwar al-Nu’maniyyah 2/307).[1], al-Shaduq dalam ‘Ilal as-Syara’I’. الصدوق في : {علل الشرائع ص601 ط نجف/ الحر العاملي في وسائل الشيعة18/463/ والجزائري في الانوارالنعمانية2/308} الجزائري في: {الأنوار النعمانية2/308} 7 235x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) (وفي الروايات أن علي بن يقطين وهو وزير الرشيد قد اجتمع في حبسه جماعة من المخالفين وكان من خواص الشيعة فأمر غلمانه وهدوا سقف الحبس على المحبوسين فماتوا كلهم وكانوا خمسمائة رجل تقريباً فأراد الخلاص من تبعات دمائهم فأرسل إلى مولانا الكاظم فكتب عليه السلام إليه جواب كتابه بأنك لو كنت تقدمت إلي قبل قتلهم لما كان عليك شيء من دمائهم وحيث أنك لم تتقدم إلي فكفّر عن كل رجل قتلته منهم بتيس والتيس خير منه، فانظر إلى هذه الدية الجزيلة التي لاتعادل دية أخيهم الأصغر وهو كلب الصيد فإن ديته خمس وعشرون درهماً ولا دية أخيهم الأكبر وهو اليهودي أو المجوسي فإنها ثمانمائة درهم وحالهم في الدنيا أخس وأبخس ) . أبو جعفر الطوسي في : {تهذيب الأحكام 4/122 ط طهران /الفيض الكاشاني في الوافي 6/43 ط دار الكتب الإسلامية طهران} عن الامام الصادق (خذ مال الناصب حيث ما وجدته وادفع إلينا خُمسه ) . الخميني في: {تحرير الوسيلة 1/352} (والأقوى إلحاق الناصب بأهل الحرب في إباحة ما أغتنم منهم وتعلق الخُمس به بل الظاهر جواز أخذ ماله أين وجد وبأي نحو كان وادفع إلينا خُمسه ) . يوسف البحراني في :{الحدائق الناضرة في أحكام العترة الطاهرة12/323-324} (إن إطلاق المسلم على الناصب وإنه لا يجوز أخذ ماله من حيث الاسلام خلاف ما عليه الطائفة المحقة سلفاً وخلفاً من الحكم بكفر الناصب ونجاسته وجواز أخذ ماله بل قتله ) . 8 232x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran)9 204x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) ومن المضحك : لما قال كاشف الغطاء في أصل الشيعة وأصولها (40 ـ 41 ) : أما عبد الله بن سبأ الذي يلصقونه بالشيعة ، أو يلصقون الشيعة به ، فهذه كتب الشيعة بأجمعها تعلن بلعنه ، والبراءة منه .اهـ فلما راجعه السيد حسين في ذلك قال: إنما قلنا هذا تقية، فالكتاب المذكور مقصود به أهل السنة .اهـ يعني يجوز الكذب على أهل السنة، لذا أخبر عن لعن الشيعة لابن سبأ ، والحقيقة خلاف ذلك 10 200x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) Oleh karena itu sangat disayangkan, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini dengan menulis komentar di sampul belakang: “Buku ini layak dibaca oleh siapapun.” Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini (Hal disebutkan lagi dalam buku khusus yang dicetak untuk membentengi umat Islam dari faham dan aliran sesat pada tahun 2007).[2] 11 204x300 Waspada! Buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Mengusung Faham Rafidhah (Syiah Iran) Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah.[3] Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Bisakah di sini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, bisa saja ada orang yang menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Tidak kalah dari KH. Makruf Amin, Ustadz Muhammad Arifin Ilham menulis: “Saya rasa, rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini, agar anak-anak mereka juga turut membacanya, untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus. Islam adalah agama yang lembut, santun, penuh kasih saying.” Saya tidak tahu beliau berdua apakah membaca buku ini dan faham isinya? Wallahu a’lam. Yang jelas, siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) telah menanam dosa yang menakutkan, bisa berakhir dengan suul khatimah, jika tidak segera bertaubat. Bisa saja ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah sebab terkecoh oleh rekomendasi mereka. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. [1] Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena di sana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al-Haram As-Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al-Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. [2] Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah. [3] Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006. [*] [1] Baca tulisan syaikh yang berjudul ……………?! الاعتداء على معتمرين شيعة في الحرم المكي أكذوبة Di http://www.alsrdaab.com/vb/showthread.php?t=40755