Entri Populer

Selasa, 01 November 2011

Hukum-hukum seputar berkurban

Diposting oleh Ustadz Abu Fairuz pada 28 October 2011 Kategori: Fiqih dan ushul fiqh Tags: hukum seputar kurban, sifat qurban nabi — Defenisi qurban Qurban dalam istilah para ulama disebutkan dengan ungkapan udhhiyah yang artinya secara bahasa yaitu sembelihan, adapun maksudnya dalam syariat yaitu menyembelih binatang ternak seperti unta, sapi maupun kambing dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah subhanahu wa ta’ala dinegeri tempat bermukimnya orang yang akan melaksanakan kurban,dilakukan selepas sholat Iedul Adha hingga berakhirnya hari tasyriq (hari ketiga belas dari bulan Zulhijjah) dengan nia untuk berkurban. Adapun landasannya yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala : ” فصل لربك وانحر” “Maka sholatlah kamu karena Rabbmu dan menyembelihlah (karena Rabbmu)”.QS: Alkautsar: 3 Allah berfirman: “قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين” “Katakan sesungguhnya sholatkhu, sembelihanku, hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb alam semesta yang tiada sekutu baginya, dan untuk hal yang demikian itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama berserah diri.” QS. Al-An’am : 162 Allah berfirman: “ولكل أمة جعلنا منسكاً ليذكروا اسم الله على ما رزقهم من بهيمة الأنعام فإلهكم إله واحد فله أسلِموا” “Dan setiap ummat kami telah jadikan syariat berkurban agar mereka mengingat nama Allah atas apa-apa yang Dia jadikan rezeki bagi mereka berupa binatang ternak, maka Tuhan kaloan adalah Tuhan yang satu, hendaknya hanya padaNyalah kalian berserah diri”. QS: Alhaj: 34 Hukum berkurban Berkurban adalah sunnah muakkad menurut pendapat mayoritas ulama, dan sebagian dari mereka ada yang mewajibkannya. Asalnya seseorang yang hidup melakukan kurban atas nama dirinya dan keluarganya. Tetapi boleh ketika menyembelihnya Dia mengatas namakan untuk keluarganya yang masih hidup ataupun yang telah mati. Kalaupun orang telah wafat pernah berwasiat ketika hidupnya agar ditunaikan dari sepertiga hartanya atau dia wasiatkan agar sepertiga hartanya diwakafkan, maka wajib hukumnya untuk ditunaikan oleh keluarga yang ditinggal, namun jika dia tidak mewasiatkan hal demikian, dan keluarga yang hidup ingin berkurban atas namanya dan nama kerabatnya walaupun telah wafat, maka hukumnya adalah boleh. Hal ini digolongkan kedalam bentuk sedekah terhadap orang yang mati, dengan ketentuan bahwa orang yang akan berkurban meniatkan dan berkata ketika akan menyembelih: ”Ya Allah inilah sembelihan dariku dan dari keluargaku” dan tidak perlu dia mengkhususkan kurban dengan niat untuk orang yang telah mati secara khusus. Telah sepakat para ulama bahwa menyembelih Kurban lebih utama dibandingkan bersedekah dengan uang yang senilai dengannya karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkurban dan tentunya inilah perbuatan yang lebih afdhal karena Beliau pasti akan melaksanakan yang paling afdhal, dan ini juga yang dipilih mazhab Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad. Keutamaan kurban dan jenis kurban yang paling utama Dianggap sah berkurban dengan satu ekor kambing untuk seseorang dan keluarganya dengan landasan ucapan sahabat Nabi Abu Ayyub : ”Adalah seseorang pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, yang darinya mereka makan dan membagikannya”. Riwayat Ibnu Majah dan Tirmizi. Adapun jenis hewan yang dikurbankan yaitu unta, sapi dan kembing. Menurut para ulama yang paling utama bagi seseorang dalam berkurban yaitu berkurban dengan unta, kemudian sapi kemudian kambing, dan terakhir bersekutu dalam menyembelih unta ataupun sapi. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:” Barang siapa yang berangkat awal (untuk menghadiri jumat) seolah berkurban dengan seekor unta, dan barang siapa berangkat setelahnya seolah-olah berkurban dengan seekor sapi, dan yang setelahnya seolah berkurban dengan seekor kambing.” Inilah yang menjadi pendapat imam Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad. Karena itulah seekor kambing lebih utama dibandingkan berserikat dalam satu ekor unta atau sapi. Adapun pendapat imam Malik yang lebih utama adalah berkuran dengan seekor kambing, setelah itu sapi dan terakhir unta, karena Nabi menyembelih dua ekor kambing dan tentulah ini yang lebih utama karena beliau pasti akan lakukan yang paling utama. Adapun mayoritas ulama membatah pendapat ini dengan alasan bahwa perbuatan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah yang paling ringan dikerjakan ummat Beliau dan tidak ingin menyulitkan mereka. (dari Fatwa bin Baz). Landasan yang membolehkan satu unta atau sapi untuk tujuh orang yaitu riwayat Jabir radhiallahu ’anhu beliau berkata: ”Kami menyembelih pada waktu perjanjian Hudaibiyah bersama Nabi shallallahu ’alaihi wasallam satu ekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang’. Dalam redaksi lain: ”Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan kami untuk beserikat dalam satu ekor unta dan sapi bagi setiap tujuh orang”. Dalam redaksi lainnya: ”maka disembelihlah satu ekor sapi atas nama tujuh orang yang berserikat padanya”. Riwayat Muslim. Perselisihan ulama tentang hukum berkurban Kurban adalah bagian dari syariat Islam, maka jika seluruh orang dalam satu negeri meninggalkannya mereka wajib diperangi menurut syeikh Muhammad Sholeh Al Utsaimin. Meskipun demikan para ulama berselisih tentang hukum kewajibannya. Sebagian mewajibkan dan sebagian menyunahkannya sebagai bentuk sunnah sangat ditekankan. Adapun yang mewajibkannya dari kalangan para ulama seperti: Alauza’iy, Allaits, Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan inilah pendapat syeikhul Islam Ibnu taimiyah dan satu penapat dalam mazhab Malik. Mereka berlandaskan dengan beberapa dalil yang mewajibkannya, diantaranya: 1. Perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Alkautsar yang berbunyi:” Maka Sholatlah kamu untuk Rabbmu dan menyembelihlah”. Kata mereka ayat ini adalah perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. 2. Hadis dari Jundub radhiallahu ’anhu bersabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ” من كان ذبح أضحيته قبل أن يصلي فليذبح مكانها أخرى ومن لم يكن ذبح فليذبح باسم الله” “barang siapa yang menyembelih sembelihannya sebelum sholat maka hendaklah dia gantikan dengan sembelihan yang lain dan barang siapa yang belum menyembelih maka hendaklah menyembelih dengan menyebut nama Allah. HR. Muslim 3621. 3. Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam dari hadis Abu Hurairah radhiallahu ’anhu: “من وجد سعة فلم يضح فلا يقربن مصلانا” “barang siapa yang memiliki kelapangan rezeki namun tidak berkurban maka jangan sekali kali mendekati musholla kami”. HR. Ahmad, Ibnu Majah dan disahihkan Alhakim. Dan Ibnu Hajar menyebutkan bahwa para perawinya adalah tsiqaat. Pendapat kedua adalah pendapat ulama yang menyunnahkan kurban dalam bentuk sunnah yang sangat ditekankan, pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ulama dan merupakan pendapat dalam mazhab Syafii, Malik dan Ahmad dalam yang masyhur dari keduanya. Mereka berpendapat bahwa orang yang mampu sangat dimakruhkan jika meninggalkannya. Adapun alasan mereka dalam hal ini : 1. Hadis riwayat Jabir yang berbunyi: “صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيد الأضحى فلما انصرف أتى بكبشين فذبحه فقال : بسم الله والله أكبر ، اللهم هذا عني وعمن لم يضح من أمتي” Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pada waktu Idhul Adha, maka tatkala selesai, dibawakan kepada beliau dua ekor kambing dan beliau langsung menyembelihnya sambil berkata:”dengan nama Allah, Dan Allah maha besar, Ya Allah ini dariku dan dari para umatku yang tidak menyembelih kurban”. HR. Abu Daud. Menurut mereka kalaulah hukumnya wajib maka Nabi akan menghukum orang yang meninggalkannya, tetapi dalam hadis ini malah Nabi berkurban atas nama Beliau dan umat yang tidak berkurban, menunjukkan tidak wajibnya hal ini. 2. Hadis yang diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Bukhari: “من أراد منكم أن يضحي فلا يأخذ من شعره وأظافره” Barang siapa yang mau berkurban diantara kalian maka hendaklah dia tidak mengambil(memotong) rambut dan kuku-kukunya”. Kata mereka: Ungkapan “barang siapa yang mau” menunjukkan tidak wajibnya hal ini. namun mengomentari pendapat-pendapat ini Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin berkata: ”sikap yang paling berhati-hati dalam hal ini adalah tidak meninggalkan berkurban bagi yang sanggup karena hal itu adalah bentuk mengagungkan Allah, mengingatNya dan agar lepas dari tuntutan, dengan memilih yang yakin. Kriteria binatang yang dikurbankan dan hal-hal yang berkaitan dengannya 1. Telah mencapai usia yang dibolehkan untuk dikurbankan, yaitu minimal berusia enam bulan pada domba, dan pada kambing gunung berusia satu tahun, untuk sapi minimal usia dua tahun dan pada unta minimal usia lima tahun. 2. Selamat dari cacat, dalam hal ini Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menjelaskan: “أربع لا يجزين في الأضاحي ، العوراء البين عورها ، المريضة البين مرضها ، والعرجاء البين ظلعها ، والعجفاء التي لا تنقي”. ” Ada empat hal yang tidak boleh ada pada kurban, yaitu: buta yang parah pada matanya, yang sakit parah, yang pincang bersangatan dan yang terlalu kurus.disahihkan syeikh Al-Abani dalam sahihah no 886. Ada juga yang dimakruhkan walaupun boleh seperti hewan yang cacat, terbelah telinga ataupun ekornya. Karena prinsipnya kurban adalah taqarrub yang mendekatkan seorang pada Allah, sementara Allah adalah Zat yang Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik, maka barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah itulah bentuk ketakwaan hati seseorang. 3. Jika seseorang telah menetukan berkurban maka haram baginya untuk menjual kurban tersebut tidak pula dibolehkan menghibahkannya, kecuali jika dia berniat menggantikannya dengan yang lebih baik. Kalaupun yang dikurbankan adalah hewan yang mengandung dan melahirkan anak , maka anaknya turut dikurbankan bersamanya. Kemudian jika seseorang butuh untuk menungganginya sebagai kendaraan dalam keadaan dia membutuhkannya maka hukumnya adalah boleh. Sebagaimana riayat Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melihat seseorang sedang menggiring untanya, maka Beliau berkata:”Tunggangilah dia!” lelaki itu menjawab:” unta ini adalah untuk dikurbankan ya Rasulullah “. Beliau menjawab:” Tunggangilah “ dua atau tiga kali. 4. Menyembelihnya pada waktu yang telah ditentukan yaitu selepas sholat Ied dan khutbah hingga sebelum terbenamnya matahari pada hari ketiga belas bulan Zulhijjah. Dalam hal ini Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:”Barang siapa yang menyembelih sebelum sholat maka hendaklah dia mengulagi kembali”. HR. Bukhari Muslim. Berkata Ali Bin Abu Thalib:”Hari menyembelih adalah hari idhul adha dan tiga hari setelahnya”. Inilah mazhab Alhasan Bashri, Atha bin Abi Rabah, Alauza’iy, Syafii dan ibnu Muzir. Apa yang dilakukan terhadap kurban setelah disembelih? Dianjurkan agar orang yang berkurban memakan sembelihannya terlebih dahulu sebelum menyantap yang lain jika mampu, yaitu setelah sholat dan khutbah.Rasulullah bersabda:” Hendaklah tiap orang memakan dari sembelihannya”. Dari riwayat Buraidah radhiallahu ’anhu beliau berkata: “Adalah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam tidak keluar pada hari raya idul fitri kecuali setelah menyantap makanan, dan tidak pula beliau menyantap makanan pada hari raya idul Adha hingga seleai menyembelih”. Albani mensahihkan sanadnya. Paling afdhal bagi seseorang yang berkurban adalah menyembelih dengan tangannya sendiri, kalaupun tidak hendaklah dia berupaya menghadiri acara penyembelihan tersebut. Kemudian dianjurkan agar dia membagi dagingnya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk dia makan, sepertiga dihadiahkan dan sepertiga disedekahkan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar-semoga Allah meridhoi keduanya. Sepakat para ulama bahwa tidak boleh menjual apapun dari daging, sumsum ataupun kulitnya. Dalam hadis sahih: ” من باع جلد أضحيته فلا أضحية له” ”Barang siapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya”. Di hasankan oleh syeikh Albani dalam, Sahih Aljami’ no.6118. Bahkan tidak boleh sedikit juapun memberikan tukang jagal apapun dari bagian sembelihan tersebut dalam bentuk upah, sebagaimana perkataan Ali radhiallahu ’anhu: “أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقوم على بدنة وأن أتصدق بلحومها وجلودها وأجلتها وألا أعطي الجزار منها شيئاً ، وقال نحن نعطيه من عندنا” Rasulullah memerintahkanku untuk menyembelih kurban dan bersedekah dari daging dan kulit dan potongannya, beliau melarangku untuk memberikan tukang jagal daripadanya sedikit juapun”, berkata Ali:” Kami yang memberinya upah dari kami sendiri(bukan dari daging). Muttafaq alaihi. Berkata sebagian ulama:”boleh memberikan pada mereka sebagai bentuk hadiah.sebgaimana boleh juga diberikan kepada orang kafir yang fakir atau kerabat maupun tetangganya yang kafir dalam bentuk upaya menarik hatinya.(dari Fatwa Ibn Baz). Hal-hal yang harus dihindari bagi orang yang ingin berkurban Dalam beberapa keterangan dari sunnah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam wajib hukumnya bagi orang yang inggin berkurban untuk menahan dirinya dari mencukur bulu dan memotong kuku sejak sepupuh harii pertama bulan Zulhijjah hingga dia menyembelih kurbannya. Bersabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam: ” إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره حتى يضحّي ” وفي رواية فلا يمسّ من شعره وبشرته شيئاً ” “jika kalian telah melihat bulan Zulhijjah maka bagi siapa yang inggin berkurban hendaklah menahan diri untuk tidak mencukur bulu dan memotong kuku hingga dia menyembelih, dalam riwayat lain:” maka janganlah memotong rambur dan bulunya sedikit juapun”. HR, Muslim. Perintah Nabi ini menunjukkan kewajibannya dan larangannya adalah menunjukkan haramnya perbuatan ini menurut yang paling rajih dari pendapat para ulama, karena tidak ada yang memalingkan dari perkara ini. Tetapi bagi orang yang dengan sengaja tetap melanggar maka hendaklah dia beristighfar memohon ampunan Allah dan tidak perlu menebusnya dengan membayar fidyah dan kurbannya tetap dianggap sah. Tetapi bagi orang yang sangat butuh untuk memotong rambut, bulu dan kukunya karena sifatnya darurat dan membahayakan dirinya jika tidak dipotong karena contohnya kukunya terbelah atau terluka di daerah rambutnya dan harus di potong maka tidak mengapa. Karena orang yang berkurban lebih sederhana dibandingkan orang yang sedang ihram yang dibolehkan untuk mencukur rambutnya kalau ada alasan yang diterima. Tidak mengapa bagi orang yang mau berkurban untuk mencuci rambutnya jika masuk sepuluh awal bulan Zulhijjah karena yang dilarang Nabi hanya mencukur dan memotong, karena orang yang sedang muhrim juga dibolehkan untuk mencuci dan membasahi rambutnya. Adapun hikmah larangan tersebut, agar orang yang berkurban dapat meniru orang yang sedang dalam keaadan muhrim dalam sebagian ibadah manasik mereka, dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih dengan memuliakan rambut dan kuku-kukunya dengan harapan semoga Allah membebaskan seluruh anggota tubuhnya dari Neraka. Wallahu a’lam. Barang siapa yang telah terlanjur memotong kuku dan rambutnya karena tidak berniat berkurban, dan ternyata ditengah jalan terberst niat inggin melaksanakan kurban, maka hendaklah menahan diri sejak itu untuk mencukur dan memotong kukunya. Kekeliruan yang terjadi disebagian wanita, yaitu anggapan mereka bahwa dengan mewakilkan sembelihan kepada saudara atau anaknya untuk menyembelih, kemudian mereka dengan bebas memotong rambut dan kuku ketika masuk sepuluh hari bulan Zulhijjah, maka anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Karena hukum larangan tersebut berkaitan dengan orang yang akan berkurban, baik dia menyembelih sendiri ataupun mewakilkan sembelihan pada orang lain. Adapun orang yang diwakilkan maka tidak masuk kedalam orang yang dilarang Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Kemudian satu hal lagi, bahwa larangan ini tidak mencakup keluarga orang yang akan berkurban, baik istri maupun anaknya kecuali jika mereka masing-masing berkurban sendiri-sendiri secara terpisah. Karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menyembelih atas nama diri dan keluarganya ,sementara tidak terdapat keterangan Beliau melarang mereka untuk memotong kuku dan rambut. Hal lainnya yaitu, tidak terlarang bagi orang yang akan menyembelih untuk memakai parfum, memakai pakaian yang berjahit ataupun mencampuri istrinya karena dia tidak lah sama dengan orang yang muhrim. Batam, Jumat 28 Oktober 2011 / 1 Dzulhijjah 1432 H, Abu Fairuz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar